REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masa dakwah Islam di Makkah sungguh sulit dijalani. Walau dakwah disampaikan dengan santun dan diam-diam, masyarakat Makkah pada abad ketujuh Masehi yang sudah terbiasa menyembah berhala, melawan Rasulullah dengan kekerasan. Bahkan, perlawanan itu mengancam nyawa dan keselamatan putra Abdullah.
Karena itulah, Rasulullah dan para sahabatnya hijrah ke Madinah. Di sana sudah banyak masyarakat yang menerima dakwah Nabi. Mereka mendengar dan memahami Islam langsung dari Rasulullah melalui perjanjian Aqabah saat musim haji tiba. Lokasinya di Masjid Aqabah yang terletak di Mina dekat area jamarat. Bangunan tua itu dilestarikan pada era Abu Ja'far al-Manshur dari Abbasiyah.
Dalam perjalanan itu, Rasulullah disambut oleh masyarakat setempat. Mereka memegang tali unta Rasulullah. Artinya, ketika itu, mereka mengundang sang Nabi untuk bermalam di kediamannya. Namun, Rasulullah membiarkan untanya berjalan dan berhenti sesuka hati. Di mana dia berhenti, di situlah Rasulullah akan bermalam.
Sampai akhirnya, unta itu berhenti di rumah bertingkat milik Abu Ayyub al-Anshari. Sahabat itu langsung mengangkat barang-barang Rasulullah masuk ke dalam rumahnya. Tindakan itu menunjukkan bahwa ia seorang perasa yang penuh cinta dan hormat. Ia tidak ingin menyakiti perasaan orang lain dengan memperebutkan tali kekang unta nabi.
Ia langsung mengambil barang bawaan nabi dan membawanya karena baginya itu yang paling penting. Ketika semua orang sibuk meminta Nabi tinggal di rumahnya, tidak ada yang terpikir untuk membawa kan barang bawaan Nabi.
Abu Ayyub dan keluarga mempersilakan Rasulullah menginap di lantai dasar. Sedangkan, ahlul bait menempati area lantai dua karena tuan rumah tak ingin merepotkan Nabi untuk naik dan turun tangga. Suatu ketika, secara tidak disengaja air tumpah ke atas lantai.
Ummu Ayub pun takut kalau air itu akan mengenai Nabi Muhammad, tetapi ia tidak menemukan selain sepotong kain sutra yang mahal harganya. Maka, Ummu Ayub pun segera mengambilnya untuk mengeringkan air itu. Namun, karena Abu Ayyub tidak ingin berada di atas Nabi, Abu Ayyub pindah ke lantai bawah dan Nabi pindah ke lantai atas.
Lama tinggalnya Nabi di rumah Abu Ayyub kurang lebih tujuh bulan, sampai rumah Rasulullah dan Masjid Nabawi dibangun. Sejak orang-orang Quraisy bermaksud jahat terhadap Islam dan berencana menyerang Madinah, sejak itu pula Abu Ayub mengalihkan aktivitasnya dengan berjihad di jalan Allah. Ia turut bertempur dalam Perang Badar, Uhud, dan Khandaq.
Pendek kata, hampir di tiap medan tempur, ia tampil sebagai pahlawan yang siap mengorbankan nyawa dan harta bendanya. Penghormatan semacam itu dikenang para sahabat lain sampai akhir hayat. Salah satunya adalah Ibnu Abbas. Sua tu ketika, Abu Ayyub mengalami kesulitan uang. Dia kemudian mendatangi Ibnu Abbas.
Perawi hadis itu teringat akan kisah Abu Ayyub yang menghormati Nabi pada saat hijrah ke Madinah. Ibnu Abbas mengosongkan rumahnya untuk ditempati Abu Ayyub sembari berkata, Aku akan melakukan apa yang kau lakukan untuk Rasulullah SAW.
Ibnu Abbas bertanya, Berapa utang mu? Abu Ayyub menjawab, Dua puluh ribu. Ibnu Abbas berkata, Aku akan memberimu uang 40 ribu dan 20 budak. Ibnu Abbas berkata (lagi), Semua yang ada di rumah ini untukmu. (Imam Ibnu 'Asakir, Tarikh Madinah Dimasyq, Beirut: Darul Fikr, 1995, juz 16, hlm 54-55).
Namanya adalah Khalid bin Zaid bin Kulaib bin Tsa'labah bin Abdu-Amr bin Auf bin Ghanam bin Malik bin an-Najjar bin Tsa'labah bin al-Khazraj. Dia berasal dari suku Khazraj, kabilah Bani Najjar. Ayahnya adalah Zaid bin Kulaib. Ibunya adalah Hindun binti Sa'id bin Amr bin Imri'il Qais bin Malik bin Tsa'labah bin Ka'ab bin al-Khazraj bin al-Harits bin al-Khazraj. Istrinya adalah Ummu Ayyub binti Qais bin Sa'id bin Qais bin Amr bin Imri'il Qais. Nabi mem persaudarakannya dengan Mush'ab bin Umair.
Abu Ayyub al-Anshari tinggal di Madinah sampai pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Di masa itu, Ali mengangkatnya sebagai penggantinya memimpin Madinah ketika Ali memindahkan pusat kekhalifahan ke Irak. Namun, Abu Ayyub tidak lama kemudian menyusul Ali ke Irak. Dia pernah pindah ke Mesir melalui jalur laut pada 46 H. Pindah lagi ke Damaskus di zaman Muawiyah bin Abi Sufyan.
Abu Ayyub ikut serta dalam peperangan membebaskan banyak negeri, selain Perang Shiffin. Dia memihak Ali dalam memerangi kaum Khawarij. Sampai pada zaman Muawiyah bin Abu Sufyan, ia ikut bertempur melawan kekaisar an Romawi.
Pada zaman pemerintahan Muhammad al-Fatih memerintah Kesultanan Usmaniyah, ia dijadikan idola sebagai pahlawan yang membebaskan kota Konstantinopel. Dia adalah mujahid yang tewas saat perang membebaskan kota itu. Saat sakaratul maut, jasadnya berada di atas kuda yang berjalan sampai tiba di suatu tempat.
Di situlah jasad itu dikebumikan pada 52 Hijriyah dalam usia 80 tahun. Kini, makam itu berada di Turki, tepatnya di samping Masjid Eyup Sultan. Orang dari berbagai negara datang ke sana untuk berziarah dan mendoakan sahabat tersebut.