REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kritik soal besarnya biaya Rp 2,4 miliar bagi renovasi rumah dinas Gubernur DKI Jakarta, yang kini didiami oleh Anies Baswedan bermunculan. Setelah mendapat banyak kritik, Kepala Dinas Cipta Karya, Pertanahan, dan Tata Ruang (Kadis Citata) Provinsi DKI Jakarta, Heru Hermawanto, menjelaskan bangunan tua yang dijadikan sebagai Rumah Dinas Gubernur Provinsi DKI Jakarta adalah bangunan bersejarah dan berstatus cagar budaya.
Bangunan tersebut mulai difungsikan sejak tahun 1916 untuk Rumah Dinas Wali Kota Batavia. Sejak tahun 1949, rumah dinas tersebut dimanfaatkan sebagai rumah dinas milik Pemprov DKI Jakarta dan telah melewati momen sejarah yang panjang. Nilai sejarah pada bangunan tersebut membuat rumah dinas itu kini berstatus sebagai cagar budaya yang harus dirawat dan dilindungi.
"Adalah tugas dan kewajiban Pemprov DKI untuk secara periodik melakukan perawatan dan pemeliharaan terhadap bangunan cagar budaya di Jakarta, termasuk Rumah Dinas Gubernur DKI, baik dalam keadaan terhuni ataupun tidak,” jelas Heru, di Balai Kota Jakarta, pada Selasa (8/10).
Menurut Heru, renovasi bangunan tua ini dilakukan untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi akibat usia bangunan. Tujuannya, untuk menjaga kelestarian bangunan cagar budaya. “Istilah yang digunakan dalam program pemerintah adalah ‘renovasi’, tapi sesungguhnya ini adalah kegiatan ‘reparasi’,” jelas Heru.
Heru meluruskan informasi di masyarakat dan menjelaskan bahwa kegiatan reparasi bangunan tua ini bukan bertujuan untuk memperindah, melainkan bertujuan untuk memperbaiki semua kerusakan akibat usia bangunan yang semakin tua. Dengan demikian tidak ada penambahan soal fasilitas yang disebut seperti fasilitas lift dan segala macamnya.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta Sri Mahendra Satria Wirawan mengatakan bahwa proses perencanaan dan penganggaran renovasi bangunan tua ini dimulai pada tahun 2015. Semua dilakukan melalui mekanisme dan prosedur yang berlaku dengan memperhatikan tingkat kerusakan dan juga menjaga tata kelola pemerintahan yang baik.
”Rencana detail selesai pada tahun 2016 dan masuk ke pembahasan RAPBD 2017. Pada 2 Oktober 2016 rencana renovasi (reparasi) bangunan tua ini disahkan dalam APBD 2017 dengan nilai Rp 2,9 miliar,” terang Mahendra.
Namun, Mahendra menyebut, rencana itu tidak dilaksanakan di tahun 2017. Lalu, rencana ini direvisi dalam pembahasan RAPBD 2018, namun juga akhirnya pada tahun 2018 tidak jadi dilaksanakan karena arahan dari Gubernur Anies Baswedan agar tidak memprioritaskan renovasi bangunan rumah.
“Sejak itu, di perencanaan tahun 2018 dan 2019, renovasi (reparasi) tidak dimasukkan dalam rencana. Dalam pembahasan rencana tahun 2020, dimasukkan, karena perbaikan atas kerusakan pada bangunan tua ini mulai makin mendesak,” tutur Mahendra.
Perencanaan untuk tahun 2020 ini dilakukan dengan penyisiran ulang atas kebutuhan reparasi sehingga bisa dilakukan penghematan. “Semula, di APBD 2017 dianggarkan 2,9 M dan setelah di-review lagi dengan hanya melakukan perbaikan yang memang perlu, maka bisa dihemat menjadi 2,4 M. Ini artinya, kita berhemat sekitar 20 persen dari anggaran sebelumnya,” jelas Mahendra.
Perlu diketahui, umur bangunan yang tua itu telah membuat banyak bagian, khususnya kayu-kayu di bagian atap, mengalami penurunan kualitas dan tidak bisa dipertahakankan. Ia menegaskan cagar budaya ini harus terus dirawat, siapapun Gubernur yang menjabat.
"Apalagi saat ini Gubernur Anies Baswedan dan keluarga tidak tinggal di Rumah Dinas tetapi selalu tinggal di rumah pribadinya, maka proses perbaikan/reparasi menjadi lebih sederhana,” tambah Heru.
Heru dan Mahendra menjamin bahwa semua prosedur dan ketentuan tata kelola pemerintahan yang baik dan benar ditaati dalam menjalankan proses reparasi bangunan cagar budaya ini. Keduanya juga menekankan, penghematan anggaran hingga sekitar 20 persen adalah hasil dari review Pemprov DKI Jakarta atas rencana renovasi yang ada pada APBD tahun 2017.
Untuk diketahui pula, sejak dilantik pada tahun 2017, Gubernur Anies dan keluarganya tidak tinggal di rumah dinas tersebut. Namun, Gubernur Anies memilih tetap tinggal di rumah pribadinya di wilayah Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Sebelumnya Anggota DPRD DKI Jakarta mengkritik tajam soal biaya renovasi Rp 2,4 miliar yang dianggap terlalu besar ini. Anggota DPRD DKI dari Partai Solidaritas Indonesia, William Aditya Sarana menilai tidak pantas bagi Gubernur merenovasi dengan besaran biaya seperti itu disaat ada warga Jakarta yang masih hidup dengan tidak layak.
Ia memberi contoh soal warga di Tanjung Duren, Jakarta Barat yang hingga saat ini belum memiliki kamar mandi dan jamban yang layak. Sehingga banyak warga Jakarta yang masih BAB dipinggir kali, dengan kondisi kamar mandi yang seadanya. "Lebih baik anggaran buat rumah dinas gubernur dialihkan ke sana. Agar narasi rakyat kecil Pak Anies nggak hanya retorika," katanya.