REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sudah berulang kali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap kepala daerah yang diduga melakukan tindakan korupsi. Ini menandakan praktik korupsi di daerah itu masih marak.
Setidaknya sejak 2005, sekitar 418 kepala daerah dan wakil kepala daerah terkena kasus korupsi. Terakhir Bupati Lampung Utara, Agung Ilmu Mangkunegara (AIM) terciduk KPK.
Peneliti komunikasi politik Universitas Telkom Dedi Kurnia Syah menilai penyebab banyaknya kepala daerah korupsi karena tiadanya integritas personal. Kemudian aktifitas korupsi kepala daerah mencerminkan gagalnya partai politik melakukan kaderisasi. Sehingga yang mengemuka adalah tokoh dengan moral politik rendah.
"Ini tentu peringatan keras bagi setiap parpol untuk memilih kader terbaik dalam kontestasi Pilkada," ujar Dedi saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (8/10).
Selain itu, juga karena lemahnya pengawasan kepala daerah oleh regulator. Sehingga kepala daerah merasa menjadi raja kecil, dan bertindak di luar batas birokrat. Namun, kata Dedi, di luar itu semua, tentu ada andil sistem politik daerah yang memberikan ruang bagi koruptor.
"Hampir semua kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah selalu kolektif, hal ini memungkinkan karena adanya sistem yang tidak bekerja dengan baik," ucapnya.
Oleh karena itu, menurut Dedi, sudah waktunya kekuasaan Parpol di evaluasi. Kemudian syarat mengikuti Pilkada tanpa Parpol harus dipermudah. Hal itu agar mengurangi dominasi Parpol yang nantinya menguasai kepala daerah. "Dengan kondisi itu masyarakat dinomorduakan karena kepentingan parpol menjadi prioritas," keluh Dedi.
Dalam politik, masih kata Dedi, tidak bisa mengandalkan moral personal. Dia mengatakan, sebaik apapun kepala daerah selama ia berkuasa dengan hutang jasa dari pihak lain, maka sangat mungkin terjadi manipulasi kekuasaan. Manipulasi ini bukan untuk kepentingan warganya, tapi lebih untuk membalas jasa.
"Memotong mata rantai itu, sistem harus diperbaiki, salah satunya dengan memudahkan kandidat independen dalam pilkada, perberat hukum bagi koruptor baik yang libatkan pemerintah maupun swasta," tegas Dedi.
Sebelumnya, Agung diduga menerima suap. Tidak tanggung-tanggung total suap yang diduga sudah diterima Agung berjumlah Rp 1,2 miliar. Padahal, ia baru dilantik tujuh bulan lalu. Kabarnya uang suap itu berasal dari proyek di Dinas Perdagangan dan Dinas PUPR. Kemudian jumlah uang suap yang diterimanya pun berbeda-beda.