REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Kepolisian London menangkap lebih dari 300 pengunjuk rasa saat massa perubahan iklim, yang dicap "uncooperative crusties" oleh Perdana Menteri Boris Johnson, Selasa (8/10). Demonstran melanjutkan pembangkangan sipil selama dua pekan yang mendesak aksi nyata terhadap perlindungan lingkungan.
Pada Senin, kelompok Extinction Rebellion menggelar aksi di sejumlah negara seperti di Inggris, Jerman, Austria, Australia, Prancis dan Selandia Baru. Mereka melobi para politikus untuk mengurangi emisi karbon lebih banyak.
Aksi tersebut merupakan tahapan terakhir dalam kampanye global atas langkah yang lebih tegas dan lebih cepat terhadap perubahan iklim, yang dikoordinasikan oleh kelompok tersebut. Puncak aksi terjadi pada April lalu saat massa mengacaukan lalu lintas di pusat Kota London selama 11 hari.
Kepolisian London menyebutkan 319 orang ditangkap pada Senin. Sementara itu, PM Johnson mengkritik para pegiat.
Berbicara di sebuah acara pada Senin malam, ia mengatakan: "Saya khawatir orang-orang keamanan tidak ingin saya hadir malam ini sebab mereka melaporkan jalanan penuh dengan uncooperative crusties," menggunakan istilah bahasa gaul Inggris untuk pengunjuk rasa lingkungan.
"Mereka mengatakan ada sejumlah risiko saya akan dihabisi," tambahnya.
Pada Selasa beberapa pengunjuk rasa membalasnya. "Itu tidak membantu," kata Diana Jones, dari wilayah Inggris selatan kepada Reuters.
"Kami hanya orang-orang biasa yang mencoba menyuarakan kekecewaan mendalam kami tentang lambannya proses mewujudkan aksi perubahan iklim yang terjadi, dengan pemerintah yang tidak betul-betul mendengarkan itu."
Kelompok itu ingin Inggris mengurang gas emisi rumah kaca sampai nol persen pada 2025, lebih cepat dibanding target pemerintah pada 2050.