REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Center of Reform on Economics Indonesia, Yusuf Rendy Manilet menilai pelemahan manufaktur yang terus terjadi hingga menjelang akhir tahun 2019 merupakan dampak dari situasi global dan domestik yang belum kondusif.
Secara global, ia menilai bahwa perang dagang memang menjadi penyebab utama pelemahan ekonomi global yang menekan sektor manufaktur. Namun, secara domestik, bauran kebijakan yang diambil pemerintah masih belum cukup untuk mendorong pertumbuhan industri manufaktur.
"Seperti untuk berinvestasi sampai kordinasi. Ada 16 paket kebijakan tapi itu belum bisa menerobos batas-batas kordinasi antarkementerian yang berbelit," kata Yusuf kepada Republika.co.id, Selasa (10/8).
Lebih lanjut, kata Yusuf, isu pelemahan manufaktur sejatinya bukan baru-baru ini saja. Namun, telah menjadi isu yang menahun dan tanpa disadari Indonesia mengalami deindustrialisasi dini. Hal itu membuat impor bahan baku untuk industri manufaktur terus melonjak. Di saat bersamaan, nilai tukar rupiah terhadap kurs dolar dalam tren melemah. Itu menjadikan Indonesia terus mengalami defisit.
Ia menilai, terlalu banyak hal yang menghambat pengusaha untuk berani berinvestasi di Indonesia. Alhasil, ekonomi Indonesia dipandang rentan oleh investor dan menjadi disinsentif untuk sektor usaha.
Di sisa dua bulan terakhir, Yusuf mengatakan, investasi secara keseluruhan dan konsumsi masyarakat masih memiliki peluang untuk tumbuh tinggi. Hal itu diharapkan dapat mengkompensasi pertumbuhan manufaktur yang terus melemah sehingga pertumbuhan ekonomi nasional masih bisa tumbuh di atas 5 persen.
"Maksimal pertumbuhan ekonomi tahun ini 5,1 persen karena dampak akhir tahun. Saya belum melihat pertumbuhan bisa turun ke bawah 5 persen," ujar dia.