REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penggiat antikorupsi, Emerson Yuntho menyatakan, Koalisi Masyarakat Sipil akan solid bersama mahasiswa di dalam pergerakan jika ada aksi lagi ke depan.
Hal itu ditegaskannya saat ditanya soal aksi mahasiswa yang akan turun lagi ke jalan jika Presiden Joko Widodo belum juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
"Sebenarnya tidak ada yang berbeda. Untuk Perppu, Koalisi Masyarakat Sipil dengan Mahasiswa solid ya," ujar Emerson usai acara "Habis Demo Terbitlah Perppu" di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, tuntutan mereka sudah jelas soal Perppu itu hanya satu pasal yaitu membatalkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru disahkan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Menurut pegiat antikorupsi yang cukup aktif di Indonesia Corruption Watch sebelum masa baktinya berakhir Desember 2018 lalu itu, Presiden Joko Widodo memiliki janji politik untuk menguatkan KPK. Janji itu akan selalu diingat sampai kapanpun.
Ketika Presiden Jokowi menghadapi desakan partai politik untuk tidak mengeluarkan Perppu, maka sebaiknya Presiden mengabaikan saja desakan tersebut untuk kemudian berpihak kepada rakyat.
"Rakyat saat ini butuh Perppu untuk memperkuat kewenangan KPK. Itu yang harus dilakukan Pak Jokowi. Bukan mendengarkan partai politik baik dari koalisi atau oposisi," kata Emerson.
Emerson menilai, hal itu adalah mandat rakyat kepada Presiden. Karena menurutnya, penyelamat saat ini hanya Presiden Jokowi.
Ketika ditanya apa saja yang menyebabkan KPK dibatasi kewenangannya? Emerson menjawab salah satunya kewenangan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Adanya kewenangan SP3 itu akan menjadikan KPK tidak bisa mengusut kasus-kasus yang saat ini belum terselesaikan.
"Adanya wewenang surat perintah penghentian penyidikan (SP3) seperti yang berlaku saat ini, kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani KPK dan kemudian macet, itu potensi di-SP3 gede," kata Emerson.
Perppu UU KPK itu, kata Emerson, menjadi kesempatan Jokowi untuk memperbaiki kesalahan yang terlanjur dilakukan saat proses pembahasan UU KPK dimana saat itu Pemerintah dan DPR dianggap tidak transparan dan akuntabel sehingga menimbulkan penolakan di masyarakat.
Kemudian hari, juga diketahui banyak kesalahan ketik (typo) di dalamnya. Menurut dia, itu kesalahan fatal yang membuktikan adanya sikap terburu-buru.
"Itu typo yang kebangetan lah. Pasalnya jika syarat 50 tahun, Pak Ghufron tidak bisa dilantik. Proses pembahasannya amburadul, saking cepat-cepatnya ngebut dan tertutupnya sampai lupa menyelesaikan typo," kata Emerson.