REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI tengah mengkaji parameter terhadap persyaratan pencalonan pemilihan kepala daerah (pilkada) terkait perbuatan tercela. Larangan yang tercantum dalam rancangan revisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3 Tahun 2017 tentang pencalonan kepala daerah dinilai sejumlah pihak rawan disalahartikan.
"Jangan sampai kemudian regulasi itu penerapannya sulit dan multitafsir. Jadi sekarang kita sedang membahas terkait dengan parameter dan petunjuk teknis tersebut," ujar Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan di Gedung Bawaslu, Rabu (9/10).
Ia menjelaskan, usai menggelar uji publik rancangan revisi PKPU tentang pencalonan kepala daerah, KPU mendapat sejumlah respons dari banyak pihak. Beberapa pihak menyoalkan terkait parameter dan petunjuk teknis agar penerapan larangan perbuatan tercela tidak dimultitafsirkan.
Dalam pasal 4 poin j angka 1 sampai 5 disebutkan bahwa persyaratan calon kepala daerah tidak pernah melakukan perbuatan tercela, yang meliputi judi, mabuk, pemakai atau pengedar narkotika, berzina, dan/atau perbuatan melanggar kesusilaan lainnya. Rancangan revisi PKPU ini akan diberlakukan pada pencalonan Pilkada 2020 mendatang.
Namun, mengingat banyak respons terkait pasal pelarangan syarat calon kepala daerah, KPU terlebih dahulu harus mematangkan parameternya. Menurut Wahyu, penjelasan lebih rinci mengenai pasal tersebut bisa saja dituangkan dalam PKPU atau diatur dalam petunjuk teknis.
Ia mengatakan, KPU tidak ingin pelarangan calon kepala daerah yang tidak pernah melakukan perbuatan tercela justru menjadi permasalahan di kemudian hari. Sebab, harus dijelaskan terkait perbedaan antara perbuatan tercela dan perbuatan melanggar hukum.
"Misalnya ada orang yang mengatakan dia pernah mabuk, dia pernah zina, apakah itu. Ataukah sebenarnya harus ada lembaga yang berwenang menetapkan itu," kata Wahyu.
Namun, KPU menjelaskan, peraturan pelarangan pelaku zina, mabuk, dan sebagainya itu memang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan kepala daerah (UU Pilkada). Sehingga, pelarangan itu bukan norma baru yang diatur oleh KPU.
"Jadi yang perlu diluruskan sebagian pihak itu sepertinya kaget dan persepsi KPU mengada-ada, membuat norma baru yang tidak ada dasarnya. Padahal itu ada dalam penjelasan UU Pilkada yang dimaksud dalam perbuatan tercela itu apa saja yaitulah bunyinya," jelas Wahyu.