REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah pedagang kebutuhan bahan pangan di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, memperkirakan akan terjadi penurunan omzet jika pemerintah tetap melarang penjualan minyak goreng curah mulai Januari 2020 mendatang. Terlebih, jika muncul pemain gelap atau pedagang yang menjual minyak goreng curah secara diam-diam.
Dani (27 tahun), pedagang bahan pangan di Pasar Minggu, mengaku, penjualan minyak curah di lapaknya jauh lebih tinggi dibandingkan minyak kemasan. "Rata-rata sehari minyak curah saya bisa jual 10 kilogram (kg) sedangkan minyak kemasan paling cuma dua kg," kata Dani ketika ditemui di lapaknya, Rabu (9/10).
Masih tingginya permintaan dari konsumen itu lah yang membuat Dani memperkirakan akan terjadi penurunan omzet jika peraturan yang dikeluarkan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita itu benar-benar diterapkan pada 2020. Sebab, para konsumen, terutama ibu-ibu rumah tangga dan pedagang makanan, akan tetap berupaya mendapatkan minyak goreng curah.
"Minyak curah kan harganya lebih murah," ungkap Dani.
Berdasarkan pantauan harga di Pasar Minggu, minyak goreng curah dijual rata-rata di angka Rp 12.000 per kg. Sedangkan minyak kemasan dijual di kisaran Rp 24 ribu per dua liter. Satu liter minyak goreng setara dengan 0,9 kg.
Selain itu, Dani juga khawatir penurunan omzetnya akan semakin menjadi-jadi jika muncul pemain gelap minyak goreng curah. "Tentu akan ada yang tidak jujur dengan tetap jual minyak curah. Pasar gelap. Itu pasti penjualan kita turun. Sedangkan kita tidak bisa seperti itu karena jualan di pasar kan selalu diawasi oleh pemerintah," terang Dani.
Hal senada disampaikan pedagang sembako lainnya, Heri (30). Ia pun menghawatirkan munculnya pemain gelap saat minyak curah sudah dilarang pemerintah untuk beredar.
Heri berpendapat, jika pemerintah tetap ingin melarang perdaran minyak curah, maka sebaiknya disertai dengan upaya menekan harga minyak goreng kemasan. Sehingga konsumen bisa beralih menggunakan minyak kemasan secara sukarela.
"Kalau tidak ada solusi demikian, ya kasian pembeli yang kebutuhan buat dagang. Kita penjual mah apa yang diminta konsumen itu disediakan, jadi tidak masalah. Asalkan tidak ada pemain gelap," ucapnya.
Di lapak Heri sendiri, penjualan minyak curah juga masih dominan dibandingkan minyak kemasan. Rata-rata, penjualan minyak curah mencapai 20 kg per harinya. Sedangkan minyak kemasan hanyak 10 kg per hari. Pembeli minyak curah, kata dia, memang rata-rata dari kalangan pedagang masakan dan ibu rumah tangga.
"Kalau tidak disertakan dengan solusi, ini berarti pemerintah cari masalah dengan rakyat namanya. Apalagi rakyat kecil. Mereka itu bukan siapa-siapa kalau tidak ada rakyat," ujar Heri mengungkapkan keprihatinannya terhadap kesulitan yang akan dihadapi konsumennya yang rata-rata dengan kemampuan ekonomi pas-pasan.
Pedagang sembako lainnya, Eko (24), juga berpendapat demikian terkait rencana pemerintah menyetop peredaran minyak curah. Ia pun juga menkonfirmasi bahwa penjualan minyak goreng curah jauh lebih tinggi dibandingkan minyak goreng kemasan.
Sebelumnya, Mendag Enggartiasto Lukita, pada Ahad (6/10), menyatakan akan melarang peredaran minyak goreng dalam bentuk curah mulai Januari 2020 dengan dalih tak sehat dan tak higenis. Sebagai gantinya, minyak goreng kemasan akan dipasarkan secara masif dengan harga yang dijanjikan lebih terjangkau.
Selain tak higenis dalam proses distribusinya, menurut Enggar, proses produksi minyak goreng curah juga rentan dioplos dengan minyak jelantah. Sementara, tak banyak konsumen yang bisa membedakan minyak goreng curah dari pabrikan dengan minyak jelantah (minyak goreng bekas pakai) yang dimurnikan warnanya.
Namun, kebijakan pelarangan minyak goreng curah tiba-tiba dibatalkan oleh Mendag Enggartiasto.