REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keberadaan transportasi Tol Laut terbukti tidak efektif untuk meningkatkan efisiensi biaya logistik pengiriman sapi antar pulau. Harga daging sapi hingga ke pasar tradisional tetap tinggi. Pola distribusi sapi yang selama ini dikirim melalui Tol Laut harus diubah.
Direktur Operasional Berdikari, Oksan Panggabean mengatakan, rata-rata biaya pengiriman sapi dari luar Jawa ke Jawa sebesar Rp 500 ribu per ekor. Itu merupakan tarif subsidi sebab biaya normal pengiriman lebih dari Rp 1 juta per ekor. Hanya saja, masalah inefisiensi bukan sebatas dari tarif.
Namun, akibat penyusutan daging sapi yang terjadi saat berada dalam pengiriman dengan Tol Laut. Penyusutan itu mengharuskan sapi yang tiba di Jawa mendapatkan perawatan intensif agar bobot daging kembali naik.
Dengan begitu, volume daging sapi yang diperoleh dapat lebih besar. "Perlu waktu untuk pemulihan sapi setelah sampai. Itu membuat harganya tidak efisien (tinggi)," kata Oksan kepada Republika.co.id, Kamis (10/10).
Ke depan, kata Oksan, pemerintah perlu memfasilitasi pembangunan Rumah Potong Hewan (RPH) skala besar khusus untuk sapi lokal di daerah-daerah sentra luar Jawa. Dengan begitu, sapi yang dikirim melalui Tol Laut sudah dalam bentuk daging sehingga tidak memerlukan biaya pemulihan atas penyusutan hewan sapi akibat di perjalanan.
"Sebetulnya, yang paling bagus jangan kirim sapi. Tapi bentuk daging. Ini perlu RPH dan cold storage yang bagus. Kita sudah usulkan ke Kementerian Pertanian tapi masih perlu kajian," ujarnya.
Perseroan sendiri, menurut Oksan, berencana untuk membangun RPH di sentra sapi lokal di luar Jawa. Hanya saja, secara umum RPH butuh kepastian stabilitas pasokan sapi dari peternak. Tanpa itu, bisnis RPH bisa merugi. Itu sebabnya yang membuat banyak RPH sapi di Indonesia gulung tikar karena tak ada kepastian pasokan.
Ia mengatakan, Berdikari sebagai perusahaan peternakan pelat merah terakhir kali membeli sapi lokal dari pengiriman dengan Tol Laut pada tahun 2016 silam. Harga sapi dan biaya pengiriman tidak naik. Namun, pada akhirnya harga menjadi naik lantaran adanya biaya untuk perawatan sapi yang menyusut.
Meski Tol Laut di desain khusus untuk mengangkut ternak, pada kenyataanya penyusutan sapi tidak bisa dihindari setelah berlabuh sekitar 5 hari. "Kenyataannya kita pernah mengalami seperti itu (penyusutan). Terakhir kita beli sapi dari shipment tahun 2016. Setelah itu tidak lagi karena kurang kompetitif," kata dia.
Oksan enggan menjelaskan biaya perawatan yang harus dikeluarkan. Yang jelas, kata dia, harga jadi tidak bersaing di tengah banyaknya daging sapi impor yang masuk dari tahun ke tahun. Karena itu, saat ini bisnis peternakan Berdikari hanya berada di Jawa Barat dengan menjalin kemitraan dengan para peternak.
Direktur Utama PT Berdikari (Persero) Eko Taufik Wibowo, mengatakan, pengembangan peternakan sapi di luar Pulau Jawa cukup terhambat akibat biaya logistik. Faktor logistik menjadi strategis karena konsumsi daging sapi cukup terpusat di wilayah Jawa. Sementara, sentra sapi lokal di Indonesia terdapat di Bali, NTT, dan NTB.
Sementara, peternakan-peternakan sapi yang berada di Jawa sebagian besar menggunakan sapi bakalan yang diimpor dari Australia. Perbaikan sistem peternakan di Indonesia harus dimulai agar kebutuhan dalam negeri ke depan bisa dipenuhi oleh produksi lokal.
"Apabila kita mencoba (mendatangkan sapi) dari luar Jawa, infrastruktur logistik belum memungkinkan. Akhirnya pengembangan peternakan sapi kembali lagi ke Jawa," katanya.
Sebagaimana diketahui, komposisi biaya produksi sapi terbesar disumbang oleh bibit bakalan dengan porsi 82 persen terhadap total produksi. Sementara itu, usaha pembibitan sapi di dalam negeri masih menghadapi masalah. Salah satunya, akibat logistik.
Itu sebabnya, impor sapi bakalan jauh lebih efisien sehingga menjadi solusi mahalnya harga daging sapi saat ini. Eko menuturkan, perlu ada sinergi yang lebih besar antar perusahaan pelat merah agar sektor peternakan lebih maju.