REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom dari Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal menuturkan, kebijakan pemerintah selama lima tahun terakhir sebenarnya berpotensi mengurangi kesenjangan antara masyarakat kaya dengan miskin di Indonesia. Hanya saja, pemerintah masih harus membenahi beberapa aspek agar hasilnya lebih efektif.
Fithra memberikan contoh kebijakan dana desa yang memiliki anggaran dari pos Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semakin meningkat setiap tahun. Meskipun sudah berhasil membangun infrastruktur di desa, kebijakan ini belum terbukti efektif dalam meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar secara signifikan.
"Artinya, ada pengelolaan yang kurang efektif," ujarnya ketika dihubungi Republika, Rabu (10/10).
Dana desa tidak sekadar membangun jembatan ataupun jalan di pedesaan. Fithra mengatakan, dana desa seharusnya dapat menjadi salah satu instrumen efektif dalam mengatasi ketimpangan, terutama di desa. Tapi, praktiknya tidak efisien karena pengelolaan yang masih terbilang sembarangan, sehingga tidak tepat sasaran.
Fithra menyebutkan, salah satu penyebabnya adalah sumber daya manusia (SDM) yang mengelolanya atau perangkat desa masih belum memiliki kapasitas mumpuni. Dampaknya, terjadi penyimpangan seperti korupsi, perencanaan yang tidak jelas ataupun implementasi berantakan.
"Dari sisi penggunaan dana desa, terlihat belum efisien dampaknya," ucapnya.
Program pemerintah lainnya yang disorot Fithra adalah pembangunan infrastruktur. Selama ini, pemerintah gencar membangun jalan tol. Tapi, berdasarkan sejumlah penelitian, pembangunan infrastruktur jalan tol justru memiliki keterkaitan yang minimal terhadap peningkatan kapasitas ekonomi dan kesejahteraan suatu daerah.
Di sisi lain, Fithra menambahkan, proyek infrastruktur yang justru dapat meningkatkan lapangan kerja dan kapasitas ekonomi adalah jalur kereta dan maritim. Keduanya mampu menekan biaya produksi lebih rendah, sehingga dapat berdampak lebih positif terhadap industri dan kesejahteraan masyarakat di daerah sekitarnya.
"Proyek ini yang harusnya di re-prioritaskan lagi," tuturnya.
Program lain yang harus dibenahi adalah mix and match. Fithra menilai, selama ini, terjadi missmatching antara lulusan institusi pendidikan dengan kebutuhan industri. Dampaknya, banyak angkatan kerja yang tidak terserap lapangan kerja. Tantangan lainnya, banyak tenaga kerja informal yang tidak memiliki jaminan perlindungan sosial setinggi tenaga kerja formal.
Hasil akhirnya, kesempatan tenaga kerja Indonesia untuk mempunyai pendapatan yang lebih tinggi pun terbatas. Ketimpangan pun berpotensi semakin lebar.
Fithra mengatakan, permasalahan ini juga yang harus terus di-address pemerintah dalam setiap merancang kebijakan. "Semuanya harus dibenahi, termasuk dari sektor hulu seperti kurikulum ini," ucapnya.
Sebelumnya, laporan akhir Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebutkan bahwa ketimpangan di Indonesia dinilai semakin lebar. Kesenjangan antara masyarakat miskin dengan kaya kian lebar. Kondisi ini terjadi di tengah tingkat kemiskinan yang selama ini diklaim terus menurun.