REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Irwan Kelana
JAKARTA – Islam adalah agama yang ajarannya selalu sesuai tuntunan zaman, termasuk dalam bidang muamalah. Ajaran Islam dalam bidang muamalah, termasuk di dalamnya ekonomi syariah mampu menjawab kebutuhan masyarakat.
Salah satu kebutuhan masyarakat modern adalah kartu kredit. Baik untuk keperluan transaksi di dalam negeri, terlebih lagi saat bepergian ke luar negeri.
Namun kartu kredit (credit card) yang berbasis bunga diharamkan menurut ajaran Islam. Sedangkan kebutuhan kartu kredit merupakan keniscayaan bagi masyarakat modern saat ini.
Menjawab kebutuhan tersebut, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), mengeluarkan Fatwa Nomor 54/DSN-MUI/X/2006 tentang Syariah Card atau kartu kredit syariah.
Pakar ekonomi syariah yang juga anggota DSN, Dr Oni Sahroni mengemukakan kartu kredit syariah (syariah card) adalah kartu yang berfungsi seperti kartu kredit yang hubungan hukum (berdasarkan sistem yang sudah ada) antara para pihak berdasarkan prinsip syariah. Ia menegaskan, kartu kredit disebut sesuai syariah dengan tiga kriteria berikut.
Pertama, tidak mengenakan bunga, tetapi mengenakan fee penjaminan bank atas kewajiban nasabah terhadap merchant, fee membership, dan mengenakan donasi sosial/ganti rugi atas setiap keterlambatan pembayaran sesuai dengan fatwa Nomor 54/DSN-MUI/X/2006 tentang Syariah Card.
Kedua, tidak digunakan untuk transaksi yang bertentangan dengan syariah. Penerbit juga tidak memfasilitasi transaksi yang bertentangan dengan syariah.
Ketiga, tidak mendorong pengeluaran yang berlebihan, dengan cara, antara lain, menetapkan pagu maksimal pembelanjaan. Dan, pemegang kartu memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada waktunya.
“Kesimpulan bahwa kartu kredit syariah dibolehkan dengan skema tersebut didasarkan pada bahwa riba itu diharamkan dan harus dihindarkan dari kartu. Sedangkan, kebolehan fee penjaminan bank itu sesuai dengan pendapat Musthafa al-Hamsyari bahwa penjaminan dengan imbalan didasarkan pada imbalan atas jasa kewibawaan (dignity) atau didasarkan pada ju'alah yang dibolehkan dalam mazhab Syafi'I,” kata Oni Sahroni (Republika, 4/9/2018).