REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kemajuan umat Islam di bidang sains dan seni arsitektur dimulai sejak Dinasti Umayyah memegang tampuk kekuasaan. Dinasti Umayyah mengembangkan pola arsitektur khusus pada bangunan dan tempat penting lainnya.
Pola arsitektur Arab yang sebelumnya mendominasi bangunan publik—istana, masjid, dan benteng—pada masa Khulafaur Rasyidun, oleh Dinasti Umayyah dikombinasikan dengan corak Romawi (Bizantium).
Kala Abdul Malik bin Marwan (685-705 M) berkuasa, ia mulai memperkenalkan konsep kubah pada arsitektur masjid. Ia pun membangun kubah Masjid al-Aqsha. Konsep kubah ini diadopsi dari bangunan katedral Kristen Ortodoks pada masa Bizantium.
Perpaduan arsitektur Islam dan arsitektur Kristen kerap pula dilakukan dengan mengadopsi bangunan yang telah ada sebelumnya. Misalnya, mengubah Gereja Saint John peninggalan Bizantium menjadi Masjid Umayyah (Masjid Agung Damaskus).
Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad (Irak) juga meninggalkan warisan mengagumkan di bidang arsitektur. Salah satu ciri pembeda arsitektur Abbasiyah dan Umayyah adalah pengaruh budaya lokal. Jika bangunan Umayyah bercorak Arab-Romawi, maka bangunan Abbasiyah bercorak Persia-Asia Tengah.
Arsitektur Islam era Abbasiyah terlihat menonjol pada penggunaan batu bata dan bentuk lengkung iwan, sebuah ruang berkubah yang terbuka pada salah satu pinggirnya. Berbeda dengan arsitektur masjid era Umayyah yang mengedepankan corak katedral dan persegi ala Ka’bah, penambahan menara begitu mendominasi di zaman Abbasiyah.
Di era Turki Usmani, gaya arsitektur Islam mengalami sejumlah adaptasi. Kerajaan ini memodifikasi arsitektur awal Dinasti Seljuk, arsitektur Bizantium, dan tradisi-tradisi Mamluk. Hampir 500 tahun lamanya artefak-artefak Bizantium, seperti Hagia Sophia, dijadikan model bagi sejumlah masjid Ottoman. Arsitektur Ottoman juga dilukiskan sebagai sintesis dari tradisi-tradisi arsitektur Mediterania dan Timur Tengah.
Arsitektur Islam era Usmani diwujudkan dalam bangunan sederhana berdekorasi megah yang ditransformasikan melalui bentuk kubah dinamis, semikubah, dan kolom. Masjid, misalnya, tak lagi menjadi ruang sempit dan gelap tertutup arabesque. Namun, menjelma menjadi tempat suci dengan keseimbangan teknis dan estetika yang melambangkan keanggunan transendensi surgawi
Lantas bagaimana nasib arsitektur Islam di era modern ini? Garry Martin, arsitek terkemuka yang bertahun-tahun praktik di Timur Tengah menilai, perkembangan arsitektur Islam saat ini kian memprihatinkan. Umat Islam mengalami krisis identitas di bidang arsitektur. “Kekayaan minyak yang melimpah serta perubahan sosial dan politik telah mengancam tradisi dan kebudayaan Islam,” ujarnya.
Pembangunan masif yang terjadi di Jazirah Arab tak lagi menerapkan arsitektur Islam yang agung dan luhur. Kebanyakan gedung di sana hanya mengekor model-model arsitektur Barat. Alhasil, umat Islam justru menciptakan lingkungan asing dalam komunitasnya.
Padahal, kata Martin, arsitektur Islam telah berhasil menapaki lintasan sejarah dengan mengadaptasi dan merespons berbagai budaya dan tradisi bangunan yang ada tanpa melemahkan esensi spiritual. “Krisis identitas umat Islam di bidang arsitektur kemungkinan besar terjadi karena esensi spiritual yang melemah dan tak lagi menjadi sumber inspirasi.”
Saatnya mencoba menapaki kembali jejak-jejak keagungan arsitektur Islam. Walau mungkin takkan mencapai puncak piramida The Golden Age, paling tidak umat ini telah menunjukkan sebuah upaya.