REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Para juru runding utama Amerika Serikat dan China pada Kamis (10/10) waktu setempat akan bertemu untuk pertama kali sejak Juli lalu. Pertemuan tersebut digelar guna mencari jalan keluar dari perang dagang, yang telah berlangsung selama 15 bulan.
Perundingan dilangsungkan saat gangguan baru antara kedua negara dengan perekonomian terbesar di dunia itu mengancam harapan bahwa kemajuan akan tercapai.
Wakil Perdana Menteri China Liu He, Perwakilan Perdagangan AS Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan AS akan berupaya mengurangi perbedaan guna menghindarkan peningkatan tarif senilai 250 miliar dolar AS (sekitar Rp 3,5 kuadriliun), yang dijadwalkan mulai berlaku pada 15 Oktober, atas barang-barang China.
Namun, suasana yang membayangi perundingan itu menjadi hambar karena Departemen Perdagangan AS pada Senin (7/10) memutuskan untuk memasukkan ke dalam daftar hitam 28 kantor keamanan publik, perusahaan teknologi dan pengawasan China.
Penetapan daftar hitam diputuskan karena AS menganggap ada pelanggaran hak asasi manusia terhadap kelompok-kelompok minoritas Muslim di Provinsi Xinjiang, China. Satu hari setelah keputusan itu diumumkan, Departemen Luar Negeri AS memberlakukan larangan pemberian visa bagi para pejabat China yang terkait dengan masalah Xinjiang.
Jika perundingan gagal lagi, sampai 15 Desember, hampir semua barang impor China ke Amerika Serikat bernilai lebih dari 500 miliar dolar (sekitar Rp 7 kuadriliun), bisa terkena tarif hukuman di tengah perselisihan, yang meletus selama kepemimpinan Presiden AS Donald Trump.
Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross mengatakan di Sydney, Kamis (10/10), pengenaan tarif itu berhasil menekan Beijing untuk memperhatikan keberatan AS soal praktik dagang China. "Kami tidak suka tarif, sebenarnya kami tidak ingin menerapkannya, tapi setelah bertahun-tahun berdiskusi dan tidak ada tindakan, pengenaan tarif akhirnya memaksa China memberi perhatian pada keberatan kami," kata Ross dalam pidato dalam rangka kunjungan ke Australia.
Kendati beberapa laporan media menyiratkan bahwa kedua pihak sedang mempertimbangkan untuk membuat kesepakatan 'sementara', Trump telah berkali-kali menepis ide itu. Ia bersikeras ingin ada 'kesepakatan besar' dengan Beijing, yang mencakup penyelesaian masalah kekayaan intelektual.
Kesepakatan sementara itu tadinya diharapkan dapat menangguhkan penerapan tarif lebih jauh oleh AS sebagai imbalan atas peningkatan pembelian produk pertanian AS.
Kedua negara selama ini berselisih soal tuntutan AS agar China meningkatkan pelindungan bagi hak cipta, mengakhiri pencurian daring dan alih teknologi yang dipaksakan pada perusahaan China, menekan subsidi bagi kalangan industri serta meningkatkan akses bagi perusahaan AS untuk memasuki pasar China yang terkunci.