REPUBLIKA.CO.ID, OSLO -- Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed meraih Nobel Perdamaian 2019. Penghargaan ini sebagai bentuk apresiasi atas upayanya menciptakan perdamaian dengan Eritrea.
Sejak Ethiopia dan Eritrea berperang pada 1998 sampai 2000 kedua negara itu terus bermusuhan. Sampai akhirnya hubungan mereka kembali pulih pada Juli 2018. Hadiah Nobel senilai sembilan juta krona atau sekitar 900 ribu dolar AS akan dipersembahkan di Oslo, Norwegia dan Stockholm pada 10 Desember mendatang.
"Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed Ali mendapat penghargaan Nobel Perdamaian tahun ini atas upayanya meraih perdamaian dan kerja sama internasional, dan terutama inisiatifnya yang menentukan untuk penyelesaian konflik perbatasan dengan tetangga Eritrea," kata Komite Nobel Norwegia dalam pernyataan mereka, Jumat (11/10).
Komite Nobel Norwegia menambahkan hadiah ini juga mengakui semua pihak yang bekerja untuk perdamaian dan rekonsiliasi di Ethiopia dan wilayah Timur dan Utara Afrika. Abiy Ahmed yang berusia 43 tahun adalah kepala negara termuda di Afrika.
"Kemenangan dan pengakuan ini adalah kemenangan kolektif seluruh rakyat Ethiopia dan seruan untuk memperkuat lagi tekad kami menjadikan Ethiopia sebagai cakrawala harapan baru, negara makmur bagi semua orang," kata kantor perdana menteri Ethiopia.
Sejak Hailemariam Desalegn mengundurkan diri dan Ahmed naik ke kursi perdana menteri, pemimpin muda itu mengumumkan sejumlah reformasi. Ia berjanji akan mengubah nasib 100 juta warga Ethiopia.
Ia meliberalisasi sebagian perekonomian yang dikuasai negara. Ahmed juga merombak angkatan bersenjata yang membuat koalisi berkuasa mempertahankan kekuasaan mereka sejak 1991. Janji-janji Ahmed meningkatkan harapan baik di Ethiopia maupun luar negeri.
Prestasi penting yang diraih Ahmed sejauh ini adalah mengamankan perdamaian dengan negara tetangga Eritrea. "Kami bangga sebagai sebuah bangsa," kata Ahmed yang dikutip dalam pernyataan kantor perdana menteri.
Beberapa hal yang masih perlu dilihat adalah apakah Ahmed dapat mengubah bentuk Ethiopia dan membukanya ke dunia dari sistem yang ada saat ini. Laki-laki yang bergabung dengan tentara sejak remaja itu menghadapi sejumlah tantangan.
Salah satunya tantangan dari koalisinya sendiri yang menolak berubah. Kemungkinan ia juga harus menghadapi kekerasan. Seperti ketika pemimpin milisi sebuah negara bagian membunuh presiden negara bagian itu dan beberapa petinggi lainnya pada Juni lalu.
Abiy juga menghadapi tingginya harapan dari kaum muda Ethiopia yang ingin mendapatkan pekerjaan, ingin berkembang dan memiliki peluang. Masih ada beberapa hal yang mengganjal dalam pemerintahan Abiy Ahmed.
Salah seorang yang menghadiri pengumuman kemenangan Abiy mengatakan perdana menteri itu belum memperlihatkan reformasi demokrasi nyata di Ethiopia. Tapi hal itu dibantah ketua dewan Komite Nobel Norwegia Berit Reiss-Andersen.
"Kami telah mengakui niatannya menggelar pemilihan demokratis tahun depan dan saya tidak setuju dengan premis Anda, karena jelas sudah banyak yang diraih dalam mereformasi demokrasi di Ethiopia, tapi perjalanannya juga masih panjang, dan Roma tidak dibangun dalam semalam dan begitu pun dengan perdamaian dan pembangunan demokrasi, tidak bisa diraih dalam jangka pendek," kata Reiss-Andersen seperti dilansir di The Guardian.
Abiy menjadi orang Afrika ke-24 yang memenangkan Nobel. Tahun lalu Dokter Denis Mukwege dari Republik Demokratik Kongo memenangkan Nobel di bidang yang sama.