REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin usaha PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Hareukat Aceh Besar, Provinsi Aceh. Kepala OJK Provinsi Aceh, Aulia Fadly mengatakan pencabutan izin usaha karena rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) yang kurang dari nol persen.
"OJK mengimbau nasabah PT BPRS Hareukat agar tetap tenang karena dana masyarakat di perbankan termasuk BPRS dijamin LPS sesuai ketentuan yang berlaku," katanya dalam siaran pers, Jumat (11/10).
Pencabutan izin dikeluarkan melalui Keputusan Anggota Dewan Komisioner (KADK) Nomor KEP-182/D.03/2019 tentang Pencabutan Izin Usaha PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Hareukat, terhitung sejak tanggal 11 Oktober 2019. Sebelumnya, sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 19/POJK.03/2017 dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 56/SEOJK.03/2017, PT BPRS Hareukat sejak tanggal 27 Maret 2018 telah ditetapkan menjadi status BPRS Dalam Pengawasan Khusus (BDPK).
Penetapan status BDPK tersebut disebabkan kelemahan pengelolaan oleh manajemen BPRS yang tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian dan pemenuhan asas perbankan yang sehat. Status tersebut ditetapkan dengan tujuan agar Pengurus atau Pemegang Saham melakukan upaya penyehatan.
Namun, sampai batas waktu yang ditentukan, upaya penyehatan yang dilakukan oleh Pengurus atau Pemegang Saham untuk keluar dari status BDPK dan BPRS dapat beroperasi secara normal dengan rasio KPMM paling kurang sebesar 8 persen tidak terealisasi. Mempertimbangkan kondisi keuangan BPRS yang semakin memburuk dan pernyataan ketidaksanggupan dari Pengurus dan Pemegang Saham dalam menyehatkan BPRS tersebut, maka OJK mencabut izin usahanya.
OJK kemudian meneruskan prosesnya kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangannya. Dengan pencabutan izin usaha PT BPRS Hareukat, selanjutnya LPS akan menjalankan fungsi penjaminan dan melakukan proses likuidasi sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009.