REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Telkom Dedi Kurnia menyebutkan Partai Gerindra akan ditinggalkan pemilihnya bila bergabung dalam koalisi Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Prabowo pun disarankan tidak bergabung dengan koalisi pemerintah.
"Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto tidak sadari, 68 juta pemilih setidaknya berharap Prabowo menjadi presiden, atau sekurang-kurangnya sebanyak itu tidak menyukai Jokowi. Jika hari ini kemudian Prabowo menjual kepercayaan publik dengan kursi kabinet, Gerindra terancam ditinggal pemilih," kata Dedi kepada wartawan di Jakarta, Jumat (11/10).
Prabowo pun diminta untuk tidak bergabung dengan koalisi Joko Widodo dan konsisten sebagai oposisi pemerintah. Menurut dia, apabila Prabowo bergabung dengan Joko Widodo, sama saja dengan mempermalukan diri sekaligus pemilihnya di Pilpres 2019.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) menyadari Jokowi akan mendapat keuntungan jika Prabowo bergabung. Namun, bergabungnya Prabowo ke dalam pemerintah akan memperlemah fungsi check and balance di negeri ini.
"Ini penanda kurang baik bagi demokrasi kita, pemerintah yang terlalu dominan akan melahirkan tirani," katanya.
Dedi mengharapkan antara Jokowi dan Prabowo menjaga etika politik untuk menghasilkan pemerintahan yang berimbang, pengawasan proporsional, dan kekuasaan tidak dominan hanya satu sisi. "Kondisi saat ini sebenarnya sudah sangat berpihak pada pemerintah, bisa kita lihat dari parlemen yang dikuasai mitra koalisi pemerintah," tuturnya.
Akan tetapi, dalam politik praktis, Gerindra telanjur kalah, baik di pilpres juga di pileg sehingga memerlukan ruang unjuk menonjolkan diri di kabinet. Begitu juga dengan Demokrat, memerlukan ruang yang sama untuk memunculkan nama Agus Harimurti Yudhoyono demi 2024.
"Prabowo harus tetap konsisten sebagai oposisi dalam kondisi apa pun. Setidaknya keberadaannya bisa memgimbangi dominasi kubu pemenang," tegas Dedi.