Sabtu 12 Oct 2019 17:23 WIB

Guru Besar UGM: Kampus Bertanggungjawab Merawat Nalar Kritis

Guru Besar UGM juga ingatkan ruang-ruang diskusi harus dibuka agar bisa jadi solusi

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Kampus Universitas Gadjah Mada
Foto: Republika/Musiron
Kampus Universitas Gadjah Mada

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada, Prof Purwo Santoso masalah-masalah seperti politisasi agama di Indonesia sudah berjalan begitu jauh. Purwo mengira, semua pasti setuju jika masyarakat kita kini sedang terbelah justru lantaran banyaknya informasi.

Pasalnya, orang-orang semakin sering melakukan sensor terhadap info-info yang disuka saja. Padahal, ia mengingatkan, pembelahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat lantaran pengelompokkan informasi tersebut.

Baca Juga

Karenanya, Purwo merasa, ruang-ruang diskusi itulah yang bisa menjadi solusi."Ruang debat itulah yang harus dibuka, sehingga dua gumpalan informasi bisa dilempar satu sama lain, dielaborasi dan didetailkan," ujar Kepala Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM tersebut akhir pekan ini kepada Republika.co.id

Apalagi, ia melihat, terminologi yang ada hari ini cukup kabur. Misal, soal radikal, tidak jelas urusannya jika dikaitkan dengan sikap mengkritik pemerintah yang ia rasa tidak tepat disebut radikal.

"Karena, justru kampus itu bertanggung jawab merawat nalar kritis," kata Purwo.

Untuk itu, Purwo menuturkan, jika radikal disamakan dengan keberanian mengkritik pemerintah sangat tidak tepat. Sebab, justru kritik-kritik itulah yang dibutuhkan pemerintah dan membuat negeri ini akan cerdas.

Bahkan, jika isu yang diangkat sensitif, misal membahas khilafah, ia mendorong semua terus terang dan digelar saja debat soal khilafah. Tapi, forumnya harus lurus, murni akademik, tanpa bullying dan sorak sorai.

"Artinya, marwah kampus justru harus ditegakkan supaya kampus menjadi tempat menjembatani pembelahan informasi," ujar Purwo.

Jika begitu, ia mengingatkan, keterampilan mengelola debat syaratnya memang harus hening, tidak membenturkan kelompok satu dengan kelompok lain. Tapi, menghadirkan argumen satu dengan argumen-argumen lain.

Bagi Purwo, sepanjang argumentasinya masuk akal, bisa dijustifikasi, yang hadir justru suasana musyawarah. Sebab, musyawarah memang forum memperdebatkan argumentasi, dan Indonesia sudah terbiasa dengan itu.

"Kita sudah terbiasa musyawarah mufakat, dalam musyawarah berbagai aspek ditimbang bersama, dan audiens yang terlibat justru dicerdaskan," kata Purwo. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement