REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Saat ini liburan merupakan hal yang lumrah dilakukan oleh kebanyakan orang, terlebih ketika merasa penat dalam aktivitas. Berlibur pada waktu tertentu bagi pelajar atau waktu lainnya pada pegawai menjadi hak yang telah diberikan oleh pemerintah dan Agama.
Bahkan lebih jauh, hal tersebut juga dianjurkan dan dibolehkan dalam agama Islam. Menurut, Guru besar Agama Islam IPB, Prof Didin Hafidhuddin di dalam Islam, berlibur atau liburan masuk ke dalam ranah mubah atau dibolehkan. Selama liburan tersebut ada manfaatnya.
"Misalnya berlibur untuk melihat keindahan alam ciptaan Allah SWT di suatu daerah," Ujar dia ketika dikonfirmasi Republika, Sabtu (12/10).
Dia juga menekankan, berlibur untuk melihat peninggalan sejarah masa lampau untuk dijadikan pelajaran (ibrah) merupakan hal yang baik. Sambung dia, hal tersebut juga tercantum sebagaimana dalam Surat Ali Imran ayat 137 yang mengatakan.
قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (QS Ali Imran Ayat 137).
Prof Didin memaparkan, berlibur atau refresing juga perlu untuk sejenak terlepas dari masalah dan pikiran sehari-hari. Sebab, hal tersebut memang mampu memberikan kebutuhan tersendiri.
Bahkan menurut dia, Nabi Muhammad juga menganjurkan berlibur untuk memperhatikan tubuh kita, mata dan lainnya. Oleh karena itu, dengan berlibur melepas penat sendiri atau bersama keluarga merupakan hal yang bagus untuk memperhatikan tubuh.
Ketika ditanya terkait liburan di masa peradaban Islam lampau, ia tidak menampik perubahan yang ada dengan masa sekarang. Di mana, mayoritas orang yang kini dimanjakan dengan berbagai kemudahan, dapat berlibur dengan tenggang waktu yang disesuaikan ke suatu tempat dengan mudah dan tanpa kendala atau permasalahan majemuk saat ini. Dengan adanya perubahan tersebut, tentu dinilai positif.
Lebih lanjut, Islam juga menganjurkan untuk melihat keindahan hamparan dunia dan mempelajari maknanya. Seperti dalam Surat Al Mulk ayat 15 yang berbunyi.
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
"Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan"
Berlibur yang saat ini menjadi hak setiap individu, telah menjadi pondasi kuat dalam setiap diri manusia. Hal tersebut juga harus didapatkan oleh setiap pekerja dari majikannya tanpa terkecuali.
Mengutip buku "Islam dan HAM dalam perspektif Nurcholish Madjid" Karya Mohammad Monib dan Islah Bahrawi mengatakan bahwa, Islam berkenaan dengan hak buruh, telah jauh mendahului prinsip HAM yang saat ini dibicarakan masyarakat modern. Melalui buku itu dijelaskan bahwa landasan dan etikanya juga telah disampaikan oleh Rasulullah secara langsung, dan berbunyi,
"Hai sekalian Manusia, ingatlah Allah berkenaan dengan agamamu dan amanatmu. Ingatlah Allah, ingatlah Allah berkenaan dengan dengan orang yang dikuasai tangan-tanganmu (buruh, budak dan sebagainya) kamu harus beri makan mereka seperti apa yang kamu makan dan harus beri mereka pakaian seperti yang kamu pakai. Dan janganlah kamu membebani mereka dengan sesuatu yang mereka tidak sanggup melakukannya. Ingat, barang siapa berbuat dzalim pada buruhnya, maka akulah musuh mereka di hari kiamat dan Allah adalah hakim mereka"
Kutipan tersebut jelas mengatakan bagaimana buruh dan pekerja lainnya harus terpenuhi hak dan kewajibannya.
Lebih jauh, mengutip buku "Menyegarkan islam kita" karya Husein Al Hadar menyatakan bahwa berlibur dari segala rutinitas, kesibukan, hiruk pikuk, kerumunan, dan keramaian bisa dikatakan sebagai upaya menghayati diri dalam sepi bersama Allah.
Dalam buku tersebut juga dijelaskan bahwa sepi merupakan momentum bagi setiap pihak untuk diam, menghadirkan kesadaran total dan juga masuk ke dalam renungan eksistensi diri kita. Sebab, kisah para manusia suci adalah kisah sepi dalam kesejatian, dan kisah kita adalah kisah keramaian dalam kesemuan.