REPUBLIKA.CO.ID,WAMENA — Insiden penikaman yang terjadi di Kota Wamena, membuat masyarakat pesimistis terkait situasi keamanan di Kabupaten Jayawijaya. Bagi warga asli Papua, kejadian nahas yang menimpa warga Toraja, Sulawesi Selatan (Sumsel), Sabtu (12/10) dikhawatirkan menambah masalah dan memicu sensitifitas yang tinggi. Sedangkan bagi warga pendatang, peristiwa tersebut, seperti memupuk ketakutan yang saat ini masih terasa setelah kerusuhan 23 September.
Ruben, orang asli di Kota Wamena merasa takut jika kejadian pembunuhan membuat warga pendatang melakukan aksi balasan. Pemuda 30-an tahun itu mengaku tak mau kejadian tersebut, menambah masalah yang membuat warga saling curiga. Ia pun setuju mengatakan, kejadian itu semakin membuat warga pendatang yang sudah mengungsi tak ingin kembali ke kotanya. “Saya juga takut. Ini bagaimana lagi. Kita semua takut saja di sini,” kata dia saat dijumpai di kawasan Jalan Yos Sudarso, Wamena, Ahad (13/10).
Aksi penikaman menimpa warga pendatang di kawasan Wouma, Sabtu (12/10) sore WIT. Wouma, salah satu lokasi terparah saat kerusuhan 23 September. Di situ, lebih dari 110 unit kegiatan usaha warga pendatang dibakar. Padahal, mayoritas pemilik kios-kios di lokasi tersebut, milik satu tokoh adat setempat. Setelah kerusuhan, informasi dari sejumlah masyarakat, pun sebetulnya menebalkan kawasan Wouma, sebagai zona merah bagi warga pendatang. Tetapi tak jelas apa yang membuat Wouma menyimpan ketakutan bagi warga non-Papua.
Republika sempat mengunjungi Wouma, setelah kejadian, Ahad (13/10). Di tempat itu, bahkan siang bolong, memang senyap sepi. Deretan bangkai kendaraan, dan sisa kios-kios terbakar membuat pemandangan tampak tak biasa. Namun ada aktivitas orang ramai di Sungai Wouma yang tampak dari jembatan. Terkait penikaman, belum dipastikan aksi dilakukan kelompok atau orang mana. Tetapi, insiden itu jadi kejadian baru di tengah upaya pemulihan Kota Wamena, dari potensi konflik horizontal antara pendatang dan warga asli setelah peristiwa kerusuhan 23 September.
Kejadian itu membuat situasi Kota Wamena kembali mencekam sepanjang Sabtu (12/10) malam. Ruben menceritakan, ketika mendengar kejadian tersebut, ia memilih segera pulang ke rumah. Bersama keluarga, ia berkumpul di dalam rumah dan tak berani keluar malam. Sejak kerusuhan 23 September, warga asli, memang mengurangi aktivitas serta kegiatan pada malam hari. Itu dilakukan karena tak ingin mengundang benturan dengan warga pendatang, serta tak ingin berurusan dengan aparat keamanan. Pada Sabtu (12/10) malam, kata dia, situasi mencekam kembali terjadi.
“Orang-orang (warga pendatang) sudah keluar toh. Sudah (seperti) mau perang saja,” ujar dia. Sabtu (12/10) malam di Kota Wamena, memang terasa tegang. Aktivitas perdagangan di kawasan-kawasan ekonomi, berhenti total sejak petang. Karena, setelah berita tentang aksi penikaman seluruh warga pendatang yang masih bertahan di Kota Wamena, memilih keluar rumah berjaga-jaga di sepanjang jalan sampai larut malam. Ada banyak kabar simpang siur yang beredar malam itu. Termasuk tentang kabar sejumlah warga asli yang akan menyerang pendatang. Itu sebabnya, warga mempersenjatai diri dengan senjata tajam.
Situasi mencekam pascapenikaman reda pada Ahad (13/10). Kegiatan di Kota Wamena kembali kondusif. Di kota itu saban Ahad tak boleh ada aktivitas perdagangan sampai pukul 15:00 WIT, kegiatan warga normal. Warga asli, sejak pagi melakukan kegiataan keagamaan di gereja-gereja sampai siang. Saat Republika mengunjungi pasar Jibama, di sentra ekonomi rakyat terbesar di Kota Wamena, beberapa warga asli sudah siap-siap berjualan pinang. “Tidak apa-apa di sini,” kata Mama Yaruba dengan bahasa setempat. Tetapi, perempuan 60-an tahun itu mengaku masih takut menengok banyak serdadu pengamanan. “Banyak tentara jadi takut,” ujar dia.
Di Jibama, memang sekitar enam personel Angkatan Darat (AD) di siagakan. Tim pengamanan, melakukan blokade jalan terbatas di jalan raya depan pasar. Di pasar yang sama,pun masih bertahan sejumlah pedagang pendatang. Heriansyah, pedagang sembako asal Wajo, Sulawesi Selatan (Sulsel) mengaku untuk sementara tak membuka kiosnya. Yusman pedagang asal Makassar, pun memilih yang sama. Meski keduanya masih merasa nyaman di Kota Wamena, tetapi keduanya mengaku merasa belum aman. “Tadi malam kejadian toh? Kalau aman, tidak ada itu,” kata Yusman. Informasi dari Yusman, dan Heriansyah, paguyuban pedagang-pedagang pendatang, memilih untuk tak buka sampai ada jaminan keamanan.
Situasi mencekam yang kembali terulang di Kota Wamena pada Sabtu (12/10), mendesak petinggi keamanan di Papua wajib berkantor di Ibu Kota Jayawijaya itu. Kapolda Papua Irjen Paulus Waterpaw, dan Pangdam Cenderawasih Mayjen Herman Asaribab datang ke Wamena, pada Ahad (13/10). Dua perwira itu, meyakinkan situasi keamanan di Wamena yang akan tetap aman dan kondusif. Tetapi keduanya mengakui, insiden penikaman yang terjadi di Wouma, mencederai kepercayaan pengungsi yang akan kembali. “Kita sudah menyatakan kepada semua pihak bahwa Wamena aman. Tetapi kejadian (penikaman) kemarin sengaja membuat ketegangan,” ujar Paulus.
Menurut dia, kejadian penikaman tersebut, masih terkait dengan insiden 23 September. Kata dia, kesimpulan awal motif pembunuhan, untuk menggagalkan upaya bersama mengembalikan keamanan di Kota Wamena. Ia berjanji akan mengusut tuntas kasus penikaman itu. “Penegakan hukum akan kita lakukan. Ini negara hukum,” sambung dia.
Mayjen Herman pun menambahkan, demi kondusifitas di Wamena, TNI dan Polri, kata dia, tak akan lagi mengambil langkah preventif dalam setiap tindakan yang mengganggu keamanan. Namun akan mengambil sikap represif demi memulihkan keamanan. “Itu untuk situasi ini agar semakin kondusif ke depan,” ujar dia.