Senin 14 Oct 2019 10:08 WIB

Ekuador Makin Kacau, Quito Mirip Zona Perang

Kendaraan militer lapis baja berpatroli di beberapa jalan.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Ani Nursalikah
Pengunjuk rasa antipemerintah berlindung di balik perisai kayu saat bentrok dengan polisi di dekat Dewan Nasional saat penerapan jam malam di Quito, Ekuador, Ahad (13/10).
Foto: AP Photo/Dolores Ochoa
Pengunjuk rasa antipemerintah berlindung di balik perisai kayu saat bentrok dengan polisi di dekat Dewan Nasional saat penerapan jam malam di Quito, Ekuador, Ahad (13/10).

REPUBLIKA.CO.ID, QUITO -- Polisi Ekuador memerangi orang-orang bertopeng yang meluncurkan proyektil buatan di pusat kota Quito, Ahad (13/10). Serangan tetap terjadi karena warga menentang penerapan jam malam.

Kota berpenduduk hampir tiga juta orang itu menyerupai zona perang. Kendaraan militer lapis baja berpatroli di beberapa jalan dan suara-suara yang menyerupai ledakan dan tembakan terdengar.

Baca Juga

Sekitar 60 jalan di kota ditutup. Hampir semua penerbangan keluar dari Quito dibatalkan pada Ahad. Bandara mengatakan, memberi makanan ringan dan minuman bagi wisatawan yang telantar karena pembatasan di daerah sekitar. 

Warga Ekuador mengunggah video di media sosial tentang pembakaran blokade jalan memasuki unjuk rasa hari ke-11. Keresahan mengenai pembatalan pertemuan mengenai pemotongan subsidi bahan bakar menyeruak, padahal langkah ini bisa menjadi awal untuk kondisi yang lebih tenang.

Putaran awal dialog antara pemerintah dan para pemimpin protes dimulai pada Ahad (13/10). Mediator yang berasal dari PBB di Ekuador menyatakan, pertemuan ditunda tiga jam karena kesulitan operasional.

Kerusuhan itu adalah yang terburuk di Ekuador dalam lebih dari satu dekade. Presiden Moreno, yang menjabat pada 2017, menandatangani kesepakatan 4,2 miliar dolar AS dengan Dana Moneter Internasional (IMF) awal tahun ini.

Keputusan itu membuat marah banyak mantan pendukung yang memilihnya sebagai penerus berhaluan kiri dari mantan sekutunya, Rafael Correa. Moreno membela pemotongan subsidi bahan bakar sebagai bagian penting dari upayanya membersihkan keuangan negara.

Kerusuhan pertama kali meletus dengan protes yang dipimpin oleh sopir truk. Para demonstran pribumi sejak itu memimpin mengecam pemerintah atas tindakan keras yang tidak proporsional.

Moreno, yang mengumumkan Senin lalu ia telah memindahkan pemerintahannya ke Guayaquil, memerintahkan jam malam di Quito dan daerah sekitarnya pada Sabtu. Dia memerintahkan militer menggunakan kekuatan jika diperlukan untuk memulihkan ketenangan di seluruh negara.

Namun, di tengah meluasnya pemberlakuan jam malam di Quito pada Ahad pagi, militer menyatakan tindakan darurat di kota itu hingga pukul 20.00. Ketua penyelenggara protes Jaime Vargas mengatakan anggota organisasi adat payung Conaie akan terus mengadakan protes sampai Moreno mengembalikan subsidi bahan bakar.

"Saat ini, di seluruh negeri, mereka dimobilisasi. Itu cara kita untuk melawan," ujar Vargas dalam sebuah video yang diposting di media sosial, Ahad.

Militerisasi perselisihan tersebut telah memicu kecaman oleh para aktivis hak asasi manusia karena pendekatan pemerintah terlalu berat. Setidaknya tujuh orang telah meninggal dunia, beberapa ratus orang terluka, dan lebih dari 1.000 orang ditangkap dalam kerusuhan sejak itu dimulai pada 3 Oktober.

Moreno pun menekankan kembali, kekerasan bermula dari kelompok keras yang berasal dari Correa. Sebagai bukti, pemerintah Ekuador telah menunjuk serangan pada kantor pengawas keuangan, tempat dokumen terkait penyelidikan terhadap penyalahgunaan dana di bawah Correa disimpan.

Menteri Dalam Negeri Ekuador Maria Romo mengatakan, sekelompok pengacau membakar kantor pengawas keuangan dalam hari kedua berturut-turut. Sekitar 500 orang telah menduduki area terlarang di kota.

Correa, yang tinggal di Belgia, membantah adanya campur tangan dan menyebut Moreno pengkhianat karena berbalik ke sisi kanan setelah terpilih dari sayap kiri. Sedangkan kelompok Conaie mengecam Correa sebagai oportunis yang tak tahu malu.

"Gerakan Correa mengkriminalisasi dan membunuh orang-orang kami selama 10 tahun. Hari ini dia ingin memanfaatkan wadah kita untuk perjuangannya," kata Conaie di Twitter.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement