REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Walimah atau resepsi dalam istilah masyarakat Indonesia telah menjadi salah satu tradisi kuat. Ada banyak dalil imbauan bahkan digolongkan perintah kepada Muslim untuk menghadiri resepsi pernikahan. Sebagai contoh, sebuah hadis shahih, "Apabila kamu diundang walimah, datangilah." (HR. Bukhari dan Muslim).
Tidak hanya itu, ada hadis lain yang menyebutkan bahwa orang yang tidak menghadiri undangan walimah, termasuk disebut telah bermaksiat kepada Allah dan rasul-Nya.
"Makanan yang paling buruk adalah makanan walimah, bila yang diundang hanya orang kaya dan orang miskin ditinggalkan. Siapa yang tidak mendatangi undangan walimah, dia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul- Nya. (HR Muslim).
Pendiri sekaligus Direktur Rumah Fiqih, Ustaz Ahmad Sarwat, menjelaskan para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghadiri undangan wali mah. Sebagian mengatakan wajib atau fardhu `ain, sebagian lagi mengatakan fardhu kifayah dan sebagian lagi mengatakan sunah.
Pendapat jumhur ulama terdiri atas Mazhab al-Malikiyah, asy- Syafi'iyah, dan al-Hanabilah sepakat bahwa menghadiri undangan walimah hukumnya fardhu.
Kewajiban ini tergantung jenis undangannya. Kalau undangannya bersifat umum, tanpa menyebut nama tertentu, tidak ada kewajiban harus menghadirinya. Sebaliknya, bila undangannya ditujukan secara pribadi, baik lewat tulisan atau lewat orang yang diutus untuk menyampaikan undangan, barulah ada kewajiban untuk menghadirinya.
Az-Zarqani dalam kitab Syarah-nya menyebutkan, tidak termasuk wajib hadir bila teks undangannya sendiri tidak mengikat. Misalnya tertulis dalam un dangan 'apabila Anda berkenan hadir', maka hadir atau tidak hadir ter serah apakah pihak yang diundang berkenan atau tidak.
Menurut para ulama, hikmah meng hadiri wali mah akan me nam bah keterpautan dan ikatan hati. Sedangkan, tidak mengha dirinya akan menimbul kan madharat dan keterputusan silaturahim.
Ustaz Ahmad Sarwat melanjutkan, pendapat kedua dari para ulama tentang hukum menghadiri undangan walimah adalah sunah. Pendapat ini didukung oleh beberapa ulama Mazhab al-Hanafiyah dan asy-Syafi'iyah. Ada juga sa lah satu versi pendapat Mazhab al-Hanabilah.
Ibnu Taimiyah termasuk yang berpendapat bukan wajib, melainkan sunah. Dasar pendapat ini karena menghadiri walimah berarti memakan makanan dan harta milik orang lain. Seseorang tidak diwajibkan untuk mengambil harta orang lain yang tidak diinginkannya.
Pendapat ketiga dari hukum menghadiri walimah adalah fardhu kifayah. Di antara para ulama yang berpendapat seperti ini adalah sebagian pendapat Mazhab Syafii dan sebagian pendapat Mazhab Hanbali. Jika mengikuti pendapat ini, apabila sebagian orang sudah ada yang menghadiri walimah itu, bagi mereka yang tidak menghadirinya sudah tidak lagi berdosa.
Adapun kesimpulan hukumnya fardhu kifayah berlandaskan kepada esensi dan tujuan walimah, yaitu sebagai media untuk mengumumkan terjadinya perni kahan serta membedakannya dari perzinaan. Bila sudah dihadiri sebagian orang, menurut pendapat ini sudah gugurlah kewajiban itu bagi tamu undangan lainnya.