Selasa 15 Oct 2019 04:59 WIB

Adab, Demokrasi, Akal Sehat: Mengapa UAS Dicekal UGM?

Mengapa UAS “dicekal” berceramah di Kampus Biru UGM?

Ustadz Abdul Somad
Foto: Facebook
Ustadz Abdul Somad

Oleh: Najib Azca, Dosen UGM dan Mantan Jurnalis

Mengapa UAS “dicekal” berceramah di Kampus Biru UGM? Sejak kemarin beredar kabar ramai tentang “pencekalan” acara kuliah umum yang sedianya akan diberikan oleh penceramah Ustaz Abdul Somad (UAS) di kampus UGM. Beraneka ragam jawaban dan spekulasi muncul untuk pertanyaan sederhana itu.

Kita bisa mulai dari jawaban ringan (dan bergaya humor). Bahwa UAS ditolak di UGM karena kini saatnya UTS. Maksudnya: belum saatnya UAS (ujian akhir semester) karena memang sekarang saatnya UTS (ujian tengah semester). Hehehe…

photo
Keterangan Foto: Najib Azka

Ada jawaban lebih rumit seperti yang disampaikan oleh Humas UGM. “Pembatalan acara UAS di kampus UGM dilakukan untuk menjaga keselarasan kegiatan akademik dan kegiatan nonakademik dengan jati diri UGM,” ujar Dr. Iva Ariani, Humas UGM, seperti dikutip CNN Indonesia (9/10/2019: 16.56).

Tidak begitu terang yang dimaksudkan Iva Ariani, dosen Filsafat UGM tersebut, ihwal ‘keselarasan akademik dan non-akademik’ dengan acara menghadirkan UAS itu.

Tapi tampaknya itu terkait dengan acara kuliah umum yang biasanya disampaikan oleh sosok akademisi bereputasi tinggi namun kali ini disampaikan “hanya” oleh seorang ustaz. Bahkan Prof. Heddy Shri Ahimsa-putra, guru besar antropologi UGM penulis buku “Paradigma Profetik Islam: Epistemologi, Etos & Model” yang semula dipasangkan sebagai “panelis” bersama UAS, belakangan mengundurkan diri.

Dalam sebuah pesan yang beredar, ia menyatakan bahwa pengunduran dirinya terkait dengan perubahan statusnya dalam acara itu; dari semula sebagai “panelis” dalam seminar bertopik “Islam dan Ilmu Pengetahuan” ternyata digeser menjadi “pemberi prolog” untuk tablig akbar oleh UAS.

Prof. Ahimsa menolak untuk diberi peran sebagai “band pembuka” (begitu istilah yang dipakainya).

Apakah tidak pantas UAS memberikan Kuliah Umum bertema “Islam dan Ilmu Pengetahuan” di kampus bereputasi internasional seperti UGM?

Ketua Badan Pengelola Masjid UGM, Drs. Mashuri Maschab, SU, menyatakan bahwa menurutnya UAS termasuk sosok yang memiliki kapasitas dan kompetensi untuk membicarakan hal tersebut. Orang tentu bisa mendebat pendapat tersebut, khususnya dalam topik “Islam dan Ilmu Pengetahuan”.

Ustaz Abdul Somad Batubara, Lc, MA, tak diragukan lagi seorang penceramah hebat. Acara ceramah di berbagai penjuru tanah air selalu dibanjiri oleh khalayak hingga berjumlah puluhan ribu. Lulusan S1 dari Universitas Al Azhar dan S2 dari Darul Hadits Al Hasaniyah Maroko ini memiliki kecakapan berpidato yang mampu memukau dan mempesona khalayak luas. Sejumlah ceramahnya di YouTube telah ditonton jutaan pemirsa. Meski secara kultural NU, namun UAS bisa diterima dan memiliki pengikut dari berbagai aliran Islam.

Namun, apakah itu jaminan bagi reputasi keilmuan UAS? Tampaknya tidak.

Beberapa waktu lalu beredar petikan rekaman ceramahnya yang membahas hukum agama menggunakan parfum yang mengandung alkohol. Dalam rekaman video tersebut, UAS menyampaikan mengenai haramnya parfum yang sebagian besar berbahan dasar hewani, khususnya daging babi. Pendapat UAS tentang alkohol yang terbuat dari minyak babi ini tampaknya jauh dari basis ilmu pengetahuan dan lebih banyak berbasis prasangka semata.

Selain lemahnya kredibilitas keilmuan UAS, argumen lain penolakan UAS terkait dengan sejumlah ceramahnya yang dianggap mengandung “ujaran kebencian”. Salah satu ceramahnya yang sempat viral berisi adanya “jin kafir” yang bersembunyi di palang Salib dianggap sebentuk “penistaan” terhadap agama lain. Nah, hal ini tampaknya dianggap tidak selaras dengan prinsip kebebasan akademik dan budaya toleransi yang dikembangkan oleh UGM.

Namun, apakah hal tersebut cukup menjadi alasan untuk “mencekal” UAS di kampus UGM?

Nah, di sini saya kurang sepakat dengan urusan “cekal-mencekal” di lingkungan kampus. Meski barangkali tidak tepat mengundang UAS untuk berbicara dalam acara bercorak akademik, tampaknya pimpinan UGM perlu menahan diri untuk mudah melakukan praktek pelarangan berbasis otoritas kampus.

Penggunaan otoritas pimpinan universitas untuk melarang dan membatasi kegiatan yang dilakukan civitas academica di lingkungan kampus bisa menjadi “pintu pembuka” bagi menguatnya praktek otoriterisme di kampus. Hal yang mirip terjadi saat pimpinan UGM melakukan sensor terhadap media mahasiswa Balairung yang melakukan liputan kritis mengenai pemilikan tanah yang sewenang-wenang di Yogyakarta dan diduga melibatkan pihak Kraton Yogyakarta (Tempo, 19 Agustus 2019).

Sebaiknya, yang perlu dilakukan pimpinan UGM melakukan “intervensi” untuk membuat acara di dalam kampus lebih berkarakter akademis, bukan sekadar pengumpulan massa besar namun minim refleksi dan diskusi kritis. Maka mari sandingkan UAS atau ulama lainnya dengan Gus Baha’ atau Ulil Abshar Abdalla atau Nadirsyah Hosen atau lainnya dalam sebuah forum diskusi akademik yang bermutu. Tampaknya itu lebih tepat dan bermartabat sebagai lembaga ilmiah.

Syukurlah, Humas UGM sudah menyatakan bahwa pimpinan UGM tidak melarang UAS untuk masuk kampus. Seperti diberitakan oleh detikcom (10/10/2019): “Batalkan Kuliah Umum, UGM Janji Akan Undang UAS di Kemudian Hari.” Artinya, bukan sosok UAS sebagai ceramah agama yang ‘masuk daftar cekal’ namun format acara yang lebih berwatak ilmiahlah yang dikehendaki untuk digelar di Kampus Biru. Jadi bukan event mobilisasi massa yang bercorak monolog ala tabligh akbar, melainkan event diskusi dan refleksi kritis yang sarat dialektika argumen dan opini.

Atau “pencekalan” UAS masih terkait dengan drama pasca Pilpres 2019? Entahlah. Tampaknya sih tidak—dan semoga memang tidak. Namun sejumlah tokoh di balik kontestasi politik keras dalam Pilpres 2019 tampaknya memang belum bisa “move on” dan terus membaca dan merespon perkembangan terkini masih terkait dengan “perang badar” dalam Pilpres 2019 yang mungkin masih bakal berlanjut di palagan politik 2024.

Pimpinan UGM tampaknya memang perlu menyegarkan dan membebaskan pengelolaan kampus dan tempat ibadah agar imun dari “virus politik” yang belum juga mampu hengkang dari narasi lama perseteruan “01” versus “02” atawa “cebong” lawan “kampret” yang jelas jauh dari penggunaan akal sehat dan keadaban politik.

Berpikir jernih, dialketika, dan keseimbangan harus dilakukan lembaga kampus seperti UGM dan lainnya. Jika tidak?

Maka," Selamat tinggal UGM sebagai kampus demokrasi, akal sehat, dan keadaban politik!"

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement