REPUBLIKA.CO.ID, WAMENA -- Para pendatang yang berdagang di Kota Wamena, Papua, berencana menghentikan aktivitas perekonomian di Jayawijaya. Embargo terpaksa dilakukan sebagai bentuk protes kepada pemerintah dan otoritas keamanan setempat sekaligus sebagai bukti solidaritas sesama pendatang yang menjadi korban dari aksi-aksi penyerangan oleh kelompok orang tak dikenal.
Jasri, seorang pedagang asal Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), mengatakan, koordinasi sesama paguyuban pendatang di Wamena, pada Senin (14/10), sepakat untuk tak membuka toko ataupun kios kelontong sembako dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Para pedagang tersebut mendesak pemulihan keamanan dan kondusivitas di Lembah Pegunungan Tengah, Papua.
“Kalau hari ini tadi, kita tutup untuk sama-sama mengantarkan jenazah yang (meninggal) ditikam kemarin (Sabtu, 12/10),” ujar dia kepada Republika, di Wamena, Senin (14/10).
Namun, kata dia, dalam komunikasi sesama pedagang pendatang, rencana penutupan akan berlanjut sampai satu pekan. “Sekalian tadi kita itu protes kepada bapak bupati, bagaimana ini keamanan. Nyawa ini eh,” kata dia menambahkan.
Jasri mengatakan, sebetulnya aksi menutup usaha bersama tak dilakukan sebagai bentuk balas dendam atau mengalamatkan kekecewaan kepada warga asli Papua di Wamena. Menurut dia, warga asli Papua di Wamena punya keakraban dan relasi sosial yang matang dengan para pendatang.
Namun, Jasri yang saban hari membuka kios sembako di Jalan Yos Sudarso itu menyebut, embargo terpaksa dilakukan sebagai teguran kepada pemerintah yang tak bisa memberikan rasa aman. “Mau bagaimana lagi? Kata pemerintah aman, tetapi pembunuhan sering terjadi. Kita minta jaminannya,” ujar dia.
Jasri merupakan korban kerusuhan pada 23 September lalu. Dia sudah 25 tahun merantau. Namun, setelah kerusuhan, ia terpaksa mengungsikan istri dan anaknya, Mai Zarni dan Safira, ke Padang, Sumatra Barat (Sumbar). “Istri saya orang Minang, saya Bugis,” ujar dia.
Saat kerusuhan, putrinya yang bersekolah di SMA Negeri 1 mengalami bengkak di kepala belakang akibat lemparan batu dari serbuan para perusuh yang menyerang sekolah itu. Setelah istrinya mengungsi, Jasri bertahan untuk menjaga aset pribadi yang sudah diraihnya selama mencari nafkah di Wamena.
Kabar tentang tutup toko bersama para pendatang sebetulnya sudah beredar luas sejak Ahad (13/10). Di Pasar Jibama, pasar rakyat terbesar di Wamena, sejumlah pendatang yang memilih bertahan menjaga kios dan dagangannya setelah kerusuhan 23 September memang memilih tutup.
Namun, Heriyansah dan Yusman, dua saudagar asal Wajo, Sulsel, sempat buka setengah pintu pada awal-awal bulan lalu. Keduanya mengikuti aksi para pedagang lainnya yang ada di kawasan ekonomi, seperti Jalan Irian dan Jalan Sulawesi.
“Di kota (toko) buka, di sini (Pasar Jibama) juga buka, tetapi setengah pintu saja,” kata Heriansyah. Akan tetapi, kata dia, keamanan di Wamena yang tak menentu membuat para pedagang pun ragu-ragu untuk berjualan penuh.
“Orang-orang di sini sudah mau mati, eh. Tidak ada aman. Kemarin mati satu toh, orang Toraja,” kata Yusman. Herianysah dan Yusman sejak kerusuhan tak bisa pulang mengungsi ke kampung halaman karena pemerintah sejak 7 Oktober melarang para pendatang mengungsi pulang.
“Kalau tidak pulang tidak apa-apa, tetapi kasih kita aman,” kata Yusman. Heriansyah dan Yusman bersama istri masing-masing setiap malam menginap di Polres Wamena demi memperoleh rasa aman. Akan tetapi, aksi tutup bersama para pedagang pendatang itu ditentang pemerintah setempat.
Sejumlah pedagang berjualan di Pasar Tradisional Sinakma, Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Jumat (11/10/2019).
Kepala Bidang Ketenagakerjaan dan Perdagangan Pemkab Jayawijaya Arisman mengatakan, aksi tutup bersama pedagang pendatang sebetulnya emosional sesaat. “Tidak benar kalau mereka (pedagang pendatang) mau tutup seminggu (sepekan),” kata dia kepada Republika.
Arisman juga tokoh senior di Ikatan Keluarga Minang (IKM) Wamena. Menurut dia, aksi tutup pedagang pendatang sebetulnya situasional. “Tidak tutup seminggu. Kita minta untuk tetap buka seperti biasa, tetapi lihat situasi dan kondisinya juga,” ujar Arisman.
Dia mengaku, para pedagang pendatang saat ini memang makin ketakutan pascaaksi penikaman warga pendatang. Namun, ketakutan serupa juga dialami semua warga. “Bukan hanya pendatang yang takut, yang (warga) asli sini juga takut kalau ada apa-apa,” ujar dia.
Arisman tak ingin reaksi warga pendatang yang berlebihan makin memperburuk situasi. Ketakutan warga asli itu pun dialami oleh Mama Makda dan kerabatnya Mama Lusi. Keduanya ditemui Republika di Lanud Manahua, Wamena, pada Senin (14/10). Keduanya bersama keluarga masing-masing memilih untuk keluar dari Wamena dengan pesawat Hercules untuk bisa pergi ke tempat kerabat yang ada di Nabire.
“Takut kerusuhan. Anak-anak banyak. Semua orang takut,” ujar Mama Makda. Sementara Mama Lusi yang mengaku tinggal di Jalan Patimurra, Wamena, sudah tak lagi tinggal di rumah sendiri dan memilih tidur bersama pengungsi di gereja.
Namun, pihak pangkalan udara setempat mengaku tak ada penerbangan dengan Hercules, Senin (14/10) ke Nabire. Otoritas Angkatan Udara (AU) itu menjelaskan, tak bisa menerbangkan warga asli, pun pendatang dengan Hercules, tanpa ada izin resmi dari pemerintah setempat.
Akan tetapi, seorang petugas di pangkalan militer itu mengatakan kepada Republika, pada 17 Oktober mendatang, akan ada pesawat Angkatan Udara (AU) yang akan singgah ke Wamena untuk mengirimkan logistik sekaligus memberikan izin pengangkutan warga di Wamena yang akan mengungsi ke luar kota. n bambang noroyono, ed: mas alamil huda