REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) melakukan pendalaman fakta peristiwa atas penembakan mahasiswa saat aksi unjuk rasa di Kendari. Kasus itu berujung pada kematian La Randi (21 tahun) dan Muhammad Yusuf Kardawi (19) diduga akibat tembakan polisi.
Kepala Divisi Hukum dan Advokasi Kontras, Arif Nurfikri, menjelaskan, pihaknya mengumpulkan informasi, keterangan, dan barang bukti dari sejumlah pihak. Di antaranya saksi yang berada di lokasi, keluarga korban, korban luka, jurnalis, perwakilan lembaga negara, dan organisasi masyarakat sipil yang memantau peristiwa tersebut.
Hasilnya, KontsaS menemukan fakta peristiwa penembakan diduga terjadi di sekitar Jalan Drs H Abdullah Silondea, tepatnya di pintu samping Dinas Ketenagakerjaan. Penembakan pertama terjadi terhadap Yusuf Kardawi di pintu samping Dinas Ketenagakerjaan, disusul penembakan terhadap La Randi beberapa ratus meter dari jatuhnya Yusuf.
"Berdasarkan keterangan salah seorang saksi yang bersama dengan Yusuf Kardawi, anggota kepolisian berada di depan massa aksi dan di dalam area kantor Dinas Ketenagakerjaan. Saksi bersama Yusuf berdiri persis di pintu samping Dinas Ketenagakerjaan.
Saat itu, anggota kepolisian membalas lemparan para peserta aksi dengan lemparan dan sejumlah tembakan. Pada saat itu juga, Yusuf Kardawi jatuh tersungkur," kata Arif dalam konferensi pers, Senin (14/10).
Saat Yusuf jatuh tersungkur, salah seorang saksi yang juga rekan korban berusaha menolong. Namun, seseorang yang berpakaian preman mengarahkan moncong senjata api padanya. "Saksi menduga orang tersebut merupakan anggota kepolisian mengingat orang tersebut datang dari dalam area Dinas Ketenagakerjaan," ujar Arif.
Saat saksi lari menghindari ancaman tembakan, ia melihat ada orang yang jatuh tersungkur. Belakangan diketahui La Randi yang terkena tembakan. "Keterangan yang disampaikan rekan Yusuf berkesesuaian dengan keterangan saksi lainnya yang pada saat peristiwa berlangsung berada di depan AMIK Catur Sakti, di seberang pintu samping Dinas Ketenagakerjan," kata dia.
Arif melanjutkan, saat Yusuf Kardawi terjatuh, polisi berseragam ataupun tidak menghampirinya. Kemudian, salah seorang polisi langsung memukul Yusuf menggunakan tongkat.
"Saksi juga sempat melihat ada seseorang yang diduga anggota kepolisian yang mana tangan kirinya memegang Yusuf yang telah tersungkur, sementara tangan kanannya memegang senjata api," ujar Arif. Saksi yang membawa Yusuf ke Rumah Sakit mengatakan, tengkorak kepala bagian belakang Yusuf terasa lembek dan samar-samar terlihat lubang dari bagian belakang kepalanya.
Keluarga memanjatkan doa untuk almarhum Immawan Randi (21) di RS Abunawas Kendari, Kendari, Sulawesi Tenggara, Kamis (26/9/2019).
Sementara, La Randi diduga meninggal akibat luka tembak pada bagian belakang ketiak kiri menembus dada kanannya. Menurut Arif, para saksi juga menemukan sejumlah selongsong peluru di sekitar tempat Yusuf dan La Randi tertembak.
Selongsong peluru tersebut diserahkan ke pihak Ombudsman RI perwakilan Sulawesi Tenggara. "Sekarang barang bukti tersebut sudah diserahkan Ombudsman kepada pihak Polda Sulawesi Tenggara," kata dia.
Demonstrasi pada Kamis 26 September 2019 itu dilakukan mahasiswa lintas kampus di Kendari, Sulawesi Tenggara. Mereka menuntut pemerintah dan DPR membatalkan revisi sejumlah undang-undang, di antaranya RKUHP dan UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Aksi mahasiswa tersebut dibubarkan paksa oleh aparat kepolisian. Akibatnya, dua mahasiswa asal Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari meninggal dunia.
Hingga kini, polisi baru mengumumkan adanya pelanggaran prosedur operasional standar (SOP) oleh enam anggotanya saat penanganan demonstrasi mahasiswa di Kendari. Keenamnya terbukti membawa senjata api dengan peluru tajam saat pengamanan unjuk rasa.
Kepala Biro Divisi Propam Mabes Polri Brigjen Hendro Pandowo mengatakan, enam anggota polsi tersebut kini dalam pemeriksaan internal. “Kami tetapkan enam anggota menjadi terperiksa,” ujar Hendro, Kamis (3/10).
Kontras juga mendapati sejumlah keanehan dari meninggalnya Akbar Alamsyah, demonstran di Jakarta. Pertama, dari keterangan polisi soal status Akbar yang berubah-ubah.
Kepala Biro Pemantauan dan Penelitian Kontras, Rivanlee Anandar, menyebut, keluarga Akbar sempat memperoleh kabar Akbar ada di Polres Jakarta Barat. Pada 27 September, keluarga berusaha membesuk Akbar sekaligus membawakan makanan.
"Kakak Akbar diberitahukan petugas di sana bahwa Akbar tidak bisa ditemui. Untuk makanannya, diminta ditinggal di depan sel tahanan saja," kata Rivanlee.
Belakangan, keluarga kaget saat mengetahui Akbar ada di RS Pelni. Keluarga tak jua berhasil menemui Akbar karena keburu dirujuk lagi ke RS Polri Kramat Jati. Akbar kemudian mengembuskan napas terakhir pekan lalu, setelah dirujuk ke RSPAD Gatot Soebroto.
"Informasi ini bertentangan dari pihak kepolisian. Pihak keluarga korban kesulitan untuk bertemu (Akbar), padahal Polres Jakbar itu mengiyakan ada Akbar di Polres Jakbar. Sedangkan keterangan dari dokter, Akbar sudah ada di RS Pelni sejak 26 September dini hari," ujar dia.
Ibu Akbar Alamsyah, Rosminah (kiri) menangis saat prosesi pemakaman korban demo ricuh Akbar Alamsyah di Taman Pemakaman Umum (TPU) kawasan Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta, Jumat (11/10/2019).
Pada Sabtu (12/9), ibunda Akbar Alamsyah mengaku belum mendapat penjelasan dari pihak kepolisian terkait penyebab kematian dan status tersangka sang anak. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono mengakui, Akbar ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan keterangan sejumlah saksi.
"Perusuh yang kita tangkap, kita lakukan pemeriksaan," kata Argo, Jumat (11/10). Terkait penyebab kematian Akbar, Polda Metro Jaya mengaku belum mendapat informasinya. "Itu masih kita update dari dokter. Sampai sekarang belum mendapatkan, memang ada luka di kepala," kata Argo. n rizky suryarandikaed: ilham tirta