REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perusahaan financial technology (fintech) diyakini bakal menjadi cara baru bagi lembaga filantropi dalam mengumpulkan dana (crowdfunding) untuk kegiatan sosial. Dana yang diperoleh dari pinjaman (peer to peer lending) juga semakin mudah seiring penetrasi internet yang makin meluas hingga masyarakat menengah ke bawah.
Pengamat Ekonomi Syariah Universitas Indonesia, Yusuf Wibisono, menuturkan bahwa dalam lima tahun terakhir, kegiatan pengumpulan dana oleh fintech tidak bisa dianggap remeh. "Fintech akan menjadi kanal baru yang efektif untuk kegiatan crowdfunding. Penetrasi internet yang masih lebar akan meningkatkan peran fintech bagi kegiatan lembaga filantropi," kata Yusuf kepada Republika.co.id, Selasa (15/10).
Yusuf menuturkan, dari hasil beberapa riset ilmiah, diketahui bahwa kelompok masyarakat yang paling royal menyisihkan uangnya untuk crowdfunding merupakan kelas menengah yang mendominasi populasi. Mayoritas mereka merupakan generasi milenial yang memiliki kepedulian sosial tinggi.
Di satu sisi, Yusuf menilai, kehadiran peer to peer lending bakal menjadi ranah baru yang disasar para calon investor. Sebab, fintech menghilangkan pihak ketiga sehingga mengefisienkan berbagai proses transaksi yang diterapkan perbankan. Karenanya, kemunculan fintech harus didorong untuk mengarah kepada pemberdayaan sosial masyarakat kelas bawah.
Namun, dikarenakan konteks pemberdayaan sosial, investor maupun lembaga fintech semestinya tidak menetapkan bunga yang tinggi. Dalam konsep syariah, dikenal sebagai konsep bagi hasil yang disepakati melalui akad mudharabah. Bagi hasil yang dibebankan kepada penerima pinjaman juga harus dalam rentang yang tidak memberatkan.
"Rate dari peer to peer lending harusnya lebih murah apalagi untuk memberdayakan masyarakat miskin. Akan menjadi aneh kalau dia lebih mahal karena transaksinya lebih efisien," kata Yusuf.
Fintech yang bekerja sama dengan lembaga filantropi juga harus meluruskan tujuan dalam konteks pemberdayaan, bukan justru mengeksploitasi kelompok bawah yang kesulitan mengakses pembiayaan perbankan.
Bagi lembaga filantropi yang bekerja sama dengan fintech, Yusuf menekankan lembaga bersangkutan wajib mengetahui detail akad. Setidaknya, akad yang ideal adalah mudharabah bahkan qarda hasan atau pinjaman tanpa bunga.
"Akad harus jelas dulu paling tidak akad mudharabah atau qordo hasan. Jangan sampai lembaga filantropi ikut mengeksploitasi penerima pinjamannya," kata dia.
Dikarenakan konsep pengumpulan dana oleh fintech untuk lembaga filantropi tergolong baru, perusahaan fintech yang mengumpulkan para peminjam dana harus menggunakan strategi yang tepat. Kredibilits lembaga mesti dijaga agar mendapatkan kepercayaan dari para calon peminjam.
"Ini penting karena kalau tidak bisa akan gagal dan kegiatan crowdfunding yang dijalankan tidak laku karena investor tidak ada yang mau," ujar dia.
Contoh pengumpulan dana lembaga filantropi oleh fintech salah satunya dilakukan dalam kerja sama fintech Tani Fund dengan Dompet Dhuafa. Kegiatan itu ditujukan untuk mengumpulkan dana pinjaman dari para peminjam demi membiayai para peternak kurban di Indonesia.
Chief Executive Office (CEO) Tani Hub Group, Ivan Arie Setiawan, mengatakan, pihaknya menargetkan total dana yang diperoleh sebanyak Rp 50 miliar hingga akhir Desember 2019. Dana tersebut akan dibagikan kepada 25 kelompok peternak binaan Dompet Dhuafa untuk keperluan hewan ternak pada Hari Raya Idul Adha tahun 2020 mendatang.
"Kita ingin mengubah partisipasi masyarakat ke arah untuk membiayai para peternak di bawah bimbingan Dompet Dhuafa. Jumlah hewan ternak ditargetkan sebanyak 50 ribu ekor untuk 2020," kata Ivan.
Menurut Ivan, dengan pemanfaatan teknologi, Tani Fund bersama Dompet Dhuafa berkomitmen untuk mengembangkan kapasitas para peternak lokal di berbagai provinsi. Konsep bagi hasil bakal diterapkan sesuai aturan sehingga sama-sama menguntungkan, termasuk para peternak binaan.
Nantinya, para kelompok peternak bertugas untuk mengoptimalkan hasil produksi. Sebanyak 50 ribu ekor ternak kurban yang bakal dibiayai akan diserap oleh Dompet Dhuafa melalui program Tebar Hewan Kurban (THK).
"Kita akan undang para lender untuk berpartisipasi di proyek budidaya hewan ternak. Nanti akan terlihat imbal hasilnya bagi para lender. Jadi selain beramal akan ada bagi hasil yang cukup menguntungkan," kata Ivan meyakinkan.
Hanya saja, Ivan belum dapat menjelaskan lebih detail mengenai imbal hasil yang bakal diterima para peminjam maupun sistem bagi hasil dengan peternak penerima dana. Menurut dia, mengenai itu akan diatur oleh Tani Fund dan Dompet Dhuafa sebagai lembaga yang bekerja sama.