REPUBLIKA.CO.ID,
JAKARTA – Beberapa hari lagi tepatnya 17 Oktober 2019, Undang-undang No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) mulai diberlakukan. Dengan demikian, semua produk yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia wajib bersertifikat halal.
Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), Rachmat Hidayat, mengatakan kewajiban bersertifikat halal bagi para pelaku usaha, khususnya makanan dan minuman, dilakukan secara bertahap hingga semuanya harus rampung disertifikasi pada 2024 mendatang.
Dia mengatakan, Gapmmi sendiri memiliki sekitar 450 anggota yang terdiri dari para pelaku usaha dan sebagian besar sudah bersertifikat halal. Namun, dia tidak memiliki data terkait jumlah perusahaan yang sudah memiliki sertifikat halal lantaran pengajuannya langsung dilakukan perusahaan masing-masing kepada LPPOM MUI.
Dalam mendukung pemerintah mewujudkan UU JPH tersebut, dia mengatakan Gapmmi akan melakukan sosialisasi terhadap anggotanya, terutama bagi para pelaku usaha yang belum mengajukan sertifikat halal.
"Gapmmi akan membantu pemerintah dengan sosialisasi dalam pertemuan dengan anggota. Dalam waktu dekat, kami akan lakukan itu kepada anggota Gappmi," kata Rahmat, saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (15/10).
Dia melanjutkan, bahwa animo untuk mengajukan sertifikat halal umumnya datang dari perusahaan makanan dan minuman yang besar. Pasalnya, mereka memang berkepentingan agar produknya bersertifikat halal sebagai bentuk komunikasi dengan para konsumennya.
Menurut data BPS, jumlah perusahaan menengah dan besar untuk makanan dan minuman ada sekitar 6.000. Sedangkan pelaku usaha usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ialah lebih dari 1,6 juta. Dengan demikian, menurutnya, ada lebih dari 1,6 juta pelaku UMKM yang belum bersertifikat halal.
Sementara menurut data dari LPPOM MUI, perusahaan yang sudah bersertifikat halal selama 30 tahun terakhir ini ialah sekitar 6.000-8.000 perusahaan dan itu bukan hanya perusahaan makanan dan minuman. Sedangkan jumlah produk yang sudah bersertifikat halal ialah sekitar 40 ribu.
Dia mengakui bahwa saat ini yang mengajukan sertifikat halal umumnya datang dari perusahaan besar. Sementara dari data BPS sendiri menunjukkan banyaknya pelaku UMKM yang belum bersertifikat halal.
Rachmat menilai, program jaminan produk halal ini bisa memberatkan para pelaku usaha kecil dan mikro. Selain dari segi biaya, pelaku usaha kecil dan mikro akan dihadapkan pada masalah dalam memenuhi unsur keamanan pangan.
Pasalnya, sertifikasi halal mensyaratkan cara pengolahan atau produksi makanan yang baik dan aman. Artinya, sertifikasi halal tidak dapat dipenuhi apabila belum menerapkan cara produksi pangan yang baik atau good manufacturing practice. Hal ini dinilai akan memakan waktu proses sertifikasi halal dan sumber daya yang besar.
"Untuk pelaku UMKM sebagian masih menjadi PR, mereka harus memperbaiki prosesnya. Karena sertifikasi halal tidak semata-mata halal, tetapi juga harus 'tayyib' dan memenuhi standar kaidah pengolahan makanan," lanjutnya.
Dari segi biaya, Rachmat menuturkan bahwa ini juga jelas menjadi kendala bagi para pelaku usaha kecil dan mikro. Biaya sertifikasi halal ini terdapat dua unsur, yakni biaya administrasi dan biaya pemeriksaan halal. Ia menilai biaya pemeriksaan halal akan sangat memberatkan bagi pelaku usaha kecil dan mikro. Pasalnya, biaya tersebut akan mencakup biaya untuk auditor halal, akomodasi, dan lainnya.
Sedangkan biaya pendaftaran atau administrasi itu menurutnya relatif dan mungkin bisa dijangkau oleh mereka. "Tetapi bagi pelaku usaha kecil dan mikro biaya pendaftaran juga berat karena kisaran biayanya beberapa juta rupiah," tambahnya.