REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Seluruh karya ilmuwan termasyhur Ibnu Sina (Averoes, 980-1037 M) pada dasarnya mengikuti metode analisis yang berasal dari al-Razi. Di ''Kitab al-Qanun fi al-Tibb'' atau di Barat dikenal dengan judul ''The Canon of Medicine'', Ibnu Sina menuliskan komentarnya mengenai batu di kandung kemih. ''Sejumlah orang menyatakan jika pasien meminum urin dari orang yang menderita kencing batu, akan menghilangkan batu di kandung kemihnya. Dan ini adalah salah satu obat yang tidak saya setujui.''
Ia juga mengembangkan pendekatan rasional baru untuk perawatan pasien di awal abad ke-9 M. Pendekatannya didasarkan pada rekaman, penafsiran, dan pengklasifikasian pengamatan klinis dan eksperimental.
Metode ilmiah yang didasarkan pada pengamatan langsung, pengalaman, dan eksperimen juga terlihat dalam karya peneliti Islam lainnya. Ibnu al-Nafis (1210-1288 M) menyatakan dalam buku ''Sharh al-Qanun Tashrih'' (Commentary on Anatomi dari Kitab Canon) ''Namun, dalam memahami fungsi organ, kami hanya bergantung pada observasi dan penelitian yang akurat. Tidak peduli apakah itu sesuai atau berbeda dari pendapat orang sebelum kami.''
Buku kedua Ibnu Sina (Canon) yang terletak di volume pertama edisi Bulaq (1877) merujuk pada obat dasar sederhana (al-Adwiyah al-Mufrada). Pada bab kedua (maqala) bagian pertama (jumla) berjudul ''Pada pengujian potensi obat melalui eksperimen (tajriba),'' Ibnu Sina menyatakan sebagai berikut.
''Potensi obat alam (amzija) dapat diidentifikasi dengan dua cara. Pertama analogi (qiyas) dan kedua dengan eksperimen (tajriba). Dan marilah kita mulai dengan membahas eksperimen. Jadi, bereksperimen membawa kita meyakini potensi obat setelah memperhitungkan kondisi pertimbangan tertentu.''
Ibnu Sina kemudian menentukan tujuh aturan untuk melakukan pengujian obat. Kumpulan aturan itu adalah lompatan dalam pengembangan metode ilmiah untuk pengujian obat-obatan dan sangat konsisten dengan konsep modern. Pada abad ke-13, Petrus Hispanus dan John of St Amand dari Eropa menjelaskan seperangkat aturan untuk menentukan keberhasilan terapi yang sangat mirip dengan penjelasan Ibnu Sina tiga abad sebelumnya.