Rabu 16 Oct 2019 21:50 WIB

Ini Dua Tantangan Terbesar Bagi Migran Baru di Australia

Banyak imigran di Australia mengalami kesulitan dasar.

Rep: Rachel Riga/ Red:
.
.

Anas Barbaree, seorang imigran asal Irak mengalami kesulitan untuk bekerja sebagai apoteker di Australia, sebagaimana yang dia jalani di negara asalnya.

Kesulitan yang untuk mendapatkan pekerjaan yang sama ini juga dialami pula oleh banyak pengungsi dan migran baru di Australia.

Laporan sebuah badan yang membantu pengungsi di negara bagian Queensland bahkan menyebut, kesepian dan perasaan terisolir yang mereka alami membuat sebagian di antaranya ingin dikembalikan ke tempat penampungan.

Anas sendiri merupakan pengungsi dari Irak yang datang ke Australia bersama keluarganya ketika militan ISIS menduduki Kota Mosul di tahun 2014.

"Warga Kristen, Muslim Syiah, dan Yazidi harus meninggalkan kota itu atau mereka punya tiga pilihan - dibunuh, bayar suap atau masuk Islam," katanya.

"Kami harus meninggalkan semua harta benda, diperiksa di berbagai pos penjagaan, dan barang-barang berharga seperti HP ikut dirampas."

Saat itu, pria berusia 31 tahun ini bekerja sebagai apoteker di RS milik pemerintah di Makhmou, sebagai tugas penempatan di kawasan regional usai wisuda pendidikan S1.

Anas bersama istrinya Maryam dan anak mereka Maram, termasuk dalam 12 ribu pencari suaka yang diterima dalam program kemanusiaan Australia bagi warga Suriah dan Irak yang melarikan diri dari terorisme dan perang saudara.

 

Sejak tiba di Australia di tahun 2016, Anas telah menjalani berbagai langkah untuk menjadi apoteker terdaftar di sini.

Dia mengikuti berbagai ujian, dan sekarang sedang menunggu persetujuan dari Badan Akreditasi Kesehatan Australia (AHPRA).

Namun dia tersandung pada satu hal. Yaitu, harus menunggu dokumen yang membuktikan bahwa dia pernah bekerja bagi Pemerintah Irak.

"Dokumen yang menyatakan saya terdaftar sebagai apoteker di Irak dan tidak pernah berbuat kesalahan," katanya.

"Saya sudah berusaha lewat Departemen Kesehatan dan Ikatan Apoteker Irak namun situasi di sana semakin memburuk. Saya menunggu situasinya lebih stabil."

"Saya akan terus berusaha, dan sudah menunggu lama untuk mendapat satu dokumen tersebut."

Sambil menunggu, Anas mengatakan lega bahwa karena sekarang bekerja penuh waktu sebagai teknisi di sebuah pusat pengobatan kanker.

"Mendapatkan pekerjaan susah di sini karena syarat harus memiliki pengalaman kerja di Australia. Kami tentu saja tidak punya karena baru datang," katanya.

Survei ABC bernama Australia Talks menunjukkan bahwa 68 persen migran baru merasa tidak puas dengan pekerjaan mereka saat ini.

Sementara bagi migran yang lama, tingkat ketidakpuasan hanya 38 persen, dan 41 persen bagi mereka yang lahir di Australia.

Kesepian

Salah satu lembaga yang membantu pengungsi dan migran untuk lebih cepat berintegrasi dalam masyarakat Australia, ARMIA, mencatat kesulitan para imigran itu.

Pendiri ARMIA Protais Muhirwa melihat sendiri betapa susahnya para migran untuk beradaptasi dengan masyarakat lain.

Muhirwa mencontohkan seorang pria yang mengalami pemutusan listrik di rumahnya selama enam bulan karena dia tidak bisa berbahasa Inggris.

"Ada juga ibu-ibu tanpa suami yang minta agar anak mereka diambil negara karena sudah tidak bisa mengurusinya atau karena anaknya terlibat kriminal," kata Muhirwa lagi.

"Ada juga yang sudah sepuh yang tinggal di sini bertahun-tahun, namun tidak bisa melakukan hal sederhana di rumah, sehingga minta dikembalikan ke kamp pengungsi yang kini sudah tidak ada lagi," jelasnya.

"Banyak orang yang tinggal sendirian di rumah mereka, menderita kesepian, sendirian di rumah."

Tantangan terbesar

Menurut CEO Multicultural Development Australia Kerrin Benson, upaya mendapatkan pekerjaan masih merupakan tantangan terbesar bagi migran baru dan pengungsi.

"Secara nasional sekitar 17 persen pengungsi mendapatkan pekerjaan di dua tahun pertama setelah mereka tiba. Angka ini rendah sekali. Di Queensland angkanya sekitar 35 persen," kata Benson.

 

"Saya kira warga Australia kadang kolot juga, sehingga kalau kita merasa seseorang tidak memiliki pengalaman kerja di Australia, artinya mereka tidak punya pengalaman kerja sama sekali."

Setiap tahun, Australia menerima sekitar 200 ribu migran baru dari luar negeri dan menurut angka resmi pemerintah 190 ribu di antaranya adalah migran resmi.

Jumlah yang datang lewat program kemanusiaan yang sebagian besar merupakan pengungsi di tahun 2018-2019 adalah 18.750 orang.

Muhirwa mengatakan ada berbagai layanan yang tersedia di Australia bagi migran baru di lima tahun kedatangan mereka, namun sebagian masih kewalahan memperkaya kemampuan berbahasa Inggris.

"Kadang satu kelas pelajaran bahasa Inggris ada campuran mereka yang lulus universitas dan bisa berbahasa Inggris cukup baik dengan mereka yang sama sekali tidak memiliki pendidikan," kata Muhirwa.

 

"Ada yang sudah di sini selama 10,15, 20 tahun tanpa pernah berbicara bahasa Inggris sekalipun. Ini akan menjadi masalah besar."

"Ini berarti mereka tidak bisa berintegrasi, tidak bisa mendapatkan pekerjaan."

Salah satu keluarga pengungsi yaitu pasangan pensiunan John Fang dan Mona Liu. Mereka pindah ke Queensland dari China di tahun 2015 untuk tinggal lebih dekat dengan putra mereka yang kuliah di sini.

Suami istri yang sama-sama berusia 64 tahun ini berusaha memperlancar bahasa Inggris dan sering datang ke kelas gratis yang diselenggarakan oleh ARMIA.

"Satu kalimat yang selalu saya ingat, kita tidak pernah terlalu tua untuk belajar, jadi kami belajar," kata Fang.

 

John Fang mengatakan mereka sangat perlu belajar bahasa Inggris agar bisa mengasuh kedua cucunya.

"Setelah belajar di sini, kemampuan kami meningkat karena kami belajar tata bahasa dan kata-kata yang bermanfaat," kata Fang.

"Saya menggunakan bahasa Mandarin di rumah dengan anak saya, jadi saya harus banyak latihan."

Lihat artikel selengkapnya dalam bahasa Inggris di sini

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement