REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengukuhkan posisinya sebagai oposisi pemerintah, setelah memilih tak melakukan 'pendekatan' dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Langkah PKS ini tidak sejalan dengan tiga partai eks-koalisi Adil Makmur lainnya yang berseberangan dengan Jokowi dalam pilpres lalu.
Sepekan terakhir, tiga ketua umum partai yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari Demokrat, Prabowo Subianto dari Gerindra, dan Zulkifli Hasan dari PAN sudah menemui Jokowi di istana.
Wakil Ketua Majelis Syura PKS, Hidayat Nur Wahid, menjelaskan bahwa pada prinsipnya partainya tidak menutup pintu silaturahim, termasuk pertemuan dengan Presiden Jokowi.
Hanya saja, ia menekankan pentingnya mempertimbangkan timing atau pemilihan waktu pertemuan yang bisa saja berujung pada berbagai asumsi. PKS, jelas Hidayat, khawatir dianggap bergabung dalam koalisi Jokowi atau meminta jatah menteri, bila mengiyakan pertemuan dengan pihak istana.
"Timing juga dipentingkan. Jangan sampai kesannya ada pertemuan, kemudian artinya mau koalisi, mau gabung, minta menteri. Pak Jokowi saja saya kira hari-hari ini cukup puyeng memikirkan porsi kementerian untuk seluruh partai pendukungnya," jelas Hidayat usai bertemu dengan Presiden Jokowi dalam kapasitasnya sebagai Wakil Ketua MPR, Rabu (16/10).
Hidayat mengaku ada keinginan sejumlah pihak agar petinggi PKS segera melakukan pertemuan dengan Jokowi. Namun baginya, pertimbangan pemilihan waktu menjadi kunci gerakan PKS saat ini.
"Kami PKS sudah memutuskan berada di luar kabinet. Kami berada sebagai oposisi apapun namanya. Dan kami sampaikan bahwa berada di luar kabinet, itu juga justru menyelamatkan demokrasi. Kalau semua orang bergabung di pemerintahan, lah terus siapa yang melakukan check and balance?" kata Hidayat.
Perihal pertemuan dengan Jokowi, Hidayat menyebut bahwa PKS bersedia melakukannya setelah tidak ada lagi kegaduhan mengenai koalisi atau jatah menteri.