Rabu 16 Oct 2019 16:03 WIB

4 Syarat Permintaan Perlindungan kepada Allah SWT

Perlindungan atau isti'adzah kepada Allah SWT sangat dianjurkan.

Ilustrasi Berdoa di Masjid Kiblat Tain (Dua Kiblat) di Madinah
Foto: Antara/Saptono
Ilustrasi Berdoa di Masjid Kiblat Tain (Dua Kiblat) di Madinah

REPUBLIKA.CO.ID, Istiadzah, diperintahkan tidak lain untuk mendapatkan perlindungan total Allah SWT dengan makna spiritual yang amat subtantif. Oleh karena itu bila kita tidak sanggup meraih makna hakikinya, maka istiadzah yang diucapkan tak lebih dari sebuah bacaan yang lafadz-lafaznya tersusun rapi, lalu kemudian hanya menjadi ucapan sehari-hari yang tak bermakna.   

Sayyid Abdul Husain Dasteghib menyebutkan lima syarat istiadzah yaitu: takwa, tadzakkur (mengingat Allah), tawakal (bersandar kepada Allah), ikhlas (ketulusan), dan tawadhu (merendahkan diri).

Baca Juga

Imam Ali bin Abi Thalib kw dalam Nahj al-Balaaghah menyebutkan takwa ibarat seorang penunggang kuda yang ahli dengan kuda terlatih, kendali dan kontrolnya diarahkan dengan mudah menuju pilihannya. Mengingat Allah adalah penyadaran diri sepenuh hati bahwa Dia selalu mengamati, mengawasi dan sadar akan status sebagai hamba-Nya.

Sebagai konsekuensinya, apa yang diperintahkan Allah, dia kerjakan dan apa yang dilarang-Nya dia jauhi. Tawakal (berserah kepada Allah) berasal dari kata wikalah (perwakilan).

Orang Mukmin wajib tawakal kepada Allah, karena seluruh urusannya berada ditangan Allah. Ketawakkalan tidak cukup hanya pada lisan saja dengan mengatakan, “Aku pasrahkan segala urusanku kepada Allah,” tapi harus menjelma dalam sikap dan perilaku sehari-hari. 

Soal ikhlas Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa mengikhlaskan diri kepada Allah selama empat puluh subuh, tampaklah sumber-sumber hikmah dari hatinya (mengalir) ke lisannya."

Hakikat ikhlas adalah penyucian amalan dari segala kotoran. Ikhlas adalah perwujudan kesempurnaan dalam perjalanan ruhani. Hati yang ikhlas akan menampung cahaya-cahaya Ilahiah dan dari hati tersebut akan tersingkap hikmah dan ilmu melalui lisan. 

Tawadhu (merendahkan diri): Maksudnya; merasa hina, hanya membutuhkan Allah, meyakini keselamatan dan permohon hanya pada-Nya. Seorang hamba yang sadar sepenuh hati tentang kekuasaan dan keagungan Allah SWT ia pasti tunduk merendahkan diri dihadapan-Nya. Ia selalu merasa malu atas kelemahan dan keterbatasan dirinya. Memohon perlindungan Allah tercermin pada diri seseorang yang merendahkan diri. 

Dengan ketidakmampuan membela diri menghadapi musuh yang begitu kuat dan ketidakmampuan membebaskan diri dari pengaruhnya, seseorang pasti akan memanggil-manggil Tuhan Yang Mahakuasa lagi Maha Penyayang untuk memohon perlindungan; "Ya Allah, Tuhanku. Aku mengadukan kepada-Mu tentang musuh yang selalu mengejar-ngejar diriku." 

Manusia yang tidak berhias dengan takwa, tadzakkur, tawakkal, ikhlas dan tawadhu maka perlindungan yang diharapkan datang dari Allah, hanya tinggal angan-angan belaka.

Alquran banyak mengabadikan manusia-manusia yang tercerahkan di bawah naungan istiadzah seperti Nabi Ibrahim AS, Hajar istri beliau dan putranya Ismail AS. Dikisahkan bahwa Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembeli putranya, Ismail yang masih belia dengan perangai yang mulia. 

Ibrahim segera berangkat ke Mina membawa buah hatinya. Melihat ketaatan Ibrahim AS Setan gelisah dan lantas menyusun taktik untuk menggagalkan rencana Ibrahim dengan mendatangi dan meniupkan rasa waswas dalam diri Hajar, dengan mengatakan, Tahukah engkau, apa yang akan diperbuat suamimu terhadap putramu? Ia akan menyembeli putramu!. Tapi Hajar tidak gampang tertipu. Ia tahu bahwa ini tak lain dari rasa waswas iblis. Kemudian Hajar berkata dengan suara lantang, Hai laknat! Kalau memang itu perintah Tuhan, tentu tidaklah menjadi masalah bagiku.

Karena Imannnya kepada Allah begitu kukuh, ia tidak mudah goyah dengan ujian berupa penyembelihan putranya yang berakhlak luhur. Karena merasa gagal, setan mendekati Ibrahim AS dan menggodanya dengan kata-kata memojokkan karena Ibrahim akan menyembelih anak sendiri. Nabi Ibrahim AS gusar dan melempar setaan itu dengan batu. Inilah yang kelak menjadi amalan bagi kaum Muslimin di musim haji, yang dikenal dengan istilah melempar jumrah.

Setan membuntuti Ismail yang mengikuti langkah sang ayah, dan menggodanya seperti yang dilakukan terhadap Ibrahim. Ismail kemudian bertanya pada ayahnya dan dijelaskan bahwa itu setan. Ketaatan Ibrahim AS melambungkan kedudukan Beliau ke ufuk langit terjauh dan Allah memberikan penghargaan tertinggi setelah beliau lulus dari cobaan ini. Allah SWT mengangkatnya sebagai Imam manusia, kemudian Ibrahim AS memohonkan juga untuk keturunannya, lalu Allah menjawab aku angkat keturunanmu yang bertakwa.      

 

sumber : Harian Republika
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement