Rabu 16 Oct 2019 16:45 WIB

Politikus PKS: Zalim Jika Masa Jabatan Presiden Ditambah

Rencana amandemen UUD 1945 sempat menyinggung isu masa jabatan presiden.

Rep: Ali Mansur/ Red: Andri Saubani
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil
Foto: ROL/Havid Al Vizki
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil menegaskan apa pun bentuk amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 terbatas atau menyeluruh pada hakikatnya negara harus memiliki haluan. Hanya saja, menurut Nasir, jika amandemen UUD 1945 ikut menambah masa masa jabatan presiden adalah tindakan yang dzalim.

"Saya pikir kalau ada isu ingin menambah masa jabatan presiden itu dzalim. Karena kita memberikan kesempatan pada orang untuk berkuasa pada waktu yang lama, jadi itu dzalim namanya," tegas Nasir Djamil saat dihubungi melalui sambungan telepon, Rabu (16/10).

Baca Juga

Nasir menambahkan, konsekuensi dari sistem presidensial adalah presidennya dipilih secara langsung. Kecuali memang tidak lagi menggunakan sistem presidensial tapi semi presidensial seperti pada masa Presiden Soeharto di Orde Baru.

Sementara reformasi itu, lanjut Nasir, hadir untuk membatasi masa jabatan presiden, yang pada masa orde baru bisa puluhan tahun berkuasa. Sebenarnya masa jabatan presiden selama dua periode itu tergolong cukup lama dan toleran. Sebab idealnya hanya satu periode, tapi hampir di semua negara praktiknya selalu dua periode.

"Kalau kemudian kita ingin menambah masa jabatan presiden berarti kita sengaja berbuat dzalim. Indonesia akan semakin gelap," tutur Nasir.

Namun, lanjut Nasir, jika pembahasan amandemen UUD 1945 itu mengarah kepada dikembalikannya pemilihan presiden untuk dikembalikan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, maka harus dikaji secara hati-hati. Apalagi kurang lebih 15 tahun Indonesia sudah menggelar pemilihan presiden secara langsung, jadi sudah seharusnya dievaluasi.

"Intinya kita harus beradaulatlah dalam demokrasi ini, sebab jangan sampai demokrasi kita ala barat, demokrasi kita demokrasi Indonesia. Sehingga tidak masuk ke dalam kategori demokrasi yang sangat liberal," harap Nasir.

Untuk PKS sendiri, Nasir mengakui, hingga saat ini masih mengkaji wacana amademen terbatas untuk mengembalikan konsep GBHN sebagai paduan umum dalam pembangunan nasional. Nasir mengatakan, meski amandemen terbatas tapi bisa berdampak pada perubahan sistem ketatanegaraan Indonesia.

"PKS masih butuh kajian lebih dalam.meski disebut sebagai amandemen terbatas, bisa mengubah sistem ketatanegaraan kita," tutup Nasir Djamil.

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyampaikan bahwa, pemilihan presiden tidak akan dibahas dalam rencana amendemen terbatas UUD Negara Republik Indonesia 1945. Hal itu sebagaimana direkomendasikan oleh MPR RI periode 2014-2019.

"Saya tegaskan, amandemen terbatas UUD RI 1945 tidak membahas pemilihan presiden. Pemilihan presiden tetap dilaksanakan secara langsung. Tidak dikembalikan ke MPR RI. Tidak ada pertanggungjawaban presiden ke MPR. Cukup Ibu Megawati Soekarnoputri yang menjadi mandataris MPR RI terakhir tahun 2002," tegas Bamsoet lewat keterangannya di Jakarta, Rabu (16/10).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement