REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Salah satu tren yang belakangan marak dalam penggunaan media sosial adalah jual beli followers. Bagaimana pandangan hukum Islam menyikapi persoalan tersebut?
Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Oni Sahroni, menjelaskan jual beli followers dalam perspektif hukum Islam. Berikut uraiannya sebagaimana dikutip dari arsip Harian Republika.
Jual beli followers dibolehkan dengan memenuhi kriteria berikut, yaitu peruntukkannya halal dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, cara penjual mendapatkan followers halal, legal, dan tidak ada unsur-unsur terlarang, waktu penyerahan dan manfaat yang jelas, serta bisa diserahterimakan.
Kesimpulan ini berdasarkan telaah terhadap data-data dan dokumen seputar jual beli followers, wawancara dengan pelaku pebisnis followers, ser ta telaah terhadap kaidah-kaidah fikih muamalah dalam fatwa dan literatur.
Di antara gambaran tentang jual beli followers tersebut adalah: fungsi penggunaan followers untuk mem buat akun usaha lebih meyakinkan, saat pilkada dibutuhkan untuk menaikkan keterjangkauan pesan kampanye kandidat calon kepala daerah, dan mendongkrak popularitas seseorang.
Proses pembelian followers tergolong mudah, pembeli hanya perlu memberikan username tanpa kode sandi dan dapat diproses selama 30 menit hingga 24 jam. Di antara fenomena bisnis ini, pelaku (penjual) mempunyai banyak akun, bisa me-like, follow dalam jumlah yang banyak, atau karena mempunyai sistem komputer otomatis (software) untuk mengarah kan followers menjadi banyak. Salah satu caranya juga adalah dengan menggunakan akun pembeli untuk follow dan unfollow akun orang lain sehingga akun orang lain akan follow kembali.
Jual beli real followers salah satunya adalah penjual akan memakai software untuk mem-follow sesuai jumlah akun yang diminta. Software tersebut bisa langsung mem-follow sejumlah akun yang diminta. Supaya tidak terkena larangan (banned), ada maksimal follow per detik.
Di antara rambu-rambu jual beli followers adalah: Pertama, peruntukannya halal dan legal. Tidak diperkenankan untuk tujuan yang tidak halal atau bertentangan peraturan, seperti menggunakan followers tersebut untuk melakukan rekayasa dalam demand, di mana penjual (yang tidak siap berkompetisi dengan produk-produk yang dijualnya) menggunakannya untuk memanipu lasipasar bahwa produknya itu digemari sehingga penjual dapat memberikan harga tinggi kepada calon pembeli.
Transaksi ini tidak halal sebagai mana hadis Rasulullah SAW: Dari Ibnu Umar RA, "Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang melakukan najasy (penawaran palsu)." (HR Bukhari). Misalnya juga menyebarkan berita tidak benar (hoax), melakukan black campaign, dan memanipulasi data. Hal ini sebagaimana hadis Rasulullah SAW tentang larangan manipulasi.
Kedua, proses mendapatkan followers yang dilakukan oleh penjual dengan cara yang halal dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di antara contoh yang dilarang adalah menggunakan akun palsu atau robot dan menggunakan akun orang lain tanpa sepengetahuan atau seizinnya karena itu berarti menggunakan hak orang lain secara batil.
Itu merupakan hal terlarang sesuai dengan firman Allah SWT: "Hai orang yang beriman! Janganlah kalian memakan (mengambil) harta orang lain secara batil kecuali jika berupa perdagangan yang dilandasi atas sukarela di antara kalian …." (QS al- Nisa': 29). Dan sebagimana hadis Rasulullah SAW: "Janganlah kamu menjual sesuatu yang tidak ada padamu." (HR Tirmizi).
Ketiga, jika transaksi ini menggunakan jual jasa (ijarah) maka manfaat yang diperjualbelikan harus jelas kualitas dan kuantitasnya beserta waktu penyerahannya dan bisa dise rah terimakan.
Oleh karena itu, jika skema ijarah yang digunakan, sementara jumlah followers yang diperjan jikan tidak pasti diserahterimakan, maka tidak diperkenankan karena ada unsur gharar yang dilarang sebagai mana disebutkan dalam hadis: "Rasulullah SAW melarang jual beli yang mengandung gharar." (HR Muslim).