REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Hubungan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dengan Senator dari Partai Republik Lindsey Graham memburuk karena perbedaan pendapat tentang Suriah. Graham mengkritik keras keputusan Trump menarik pasukan AS dari perbatasan Suriah dengan Turki.
Tampaknya Trump tidak dapat menerima kritikan keras dari sekutu dekatnya itu. Ia justru meminta senator dari South Carolina tersebut untuk fokus melakukan pekerjaannya memimpin Komite Kehakiman di Senat.
"Saya pikir Lindsey (Graham) harus fokus di Komite Kehakiman, orang-orang di South Carolina ingin melihat pasukan pulang ke rumah dan saya menang di pemilihan karena itu," kata Trump usai menemui Presiden Italia Sergio Mattarella di Gedung Putih, Kamis (17/10).
Graham salah satu pembela Trump yang paling gigih, walaupun dalam beberapa kesempatan ia mengaku tidak selalu sepakat dengan kebijakan Trump. Kantor berita Associated Press menulis kemungkinan perselisihan itu tidak akan berlangsung lama. Hal itu karena sebelumnya Graham juga pernah menunjukkan ketidakpuasannya atas kebijakan Trump.
Namun, ia tetap bertahan sebagai salah satu sekutu presiden AS ke-45 itu. Selain itu Trump melihat Graham sebagai sekutu yang sangat berguna. Ia membutuhkan dukungan Partai Republik di Senat dalam menghadapi penyelidikan pemakzulan yang diluncurkan House of Representative yang kini dikuasai Partai Demokrat.
Beberapa pekan terakhir Graham membela Trump dalam penyelidikan pemakzulan tersebut. Persekutuan Trump dengan Graham membuktikan mantan pengusaha real estate itu berhasil mengarahkan Partai Republik sesuai dengan keinginannya.
Di awal kampanye pemilihan presiden 2016, kedua orang itu sempat bentrok di beberapa kesempatan. Graham menilai Trump tidak pantas untuk dicalonkan sebagai presiden. Trump menuduh Senator itu munafik. Ia sempat membacakan nomor telepon Graham dalam sebuah kampanye.
Namun, setelah Trump menang Graham merapat dan Trump membiarkannya. Bagi presiden AS itu Graham sekutu yang dapat mengarahkan Senat. Graham pendukung gigih rencana Trump untuk menghapus jaminan kesehatan nasional yang dikenal dengan 'Obamacare'.
Selama negosiasi dalam isu tersebut kedua orang itu berteman akrab. Kepada orang-orang kepercayaannya, Trump mengatakan ia terkejut Graham membelanya dengan gigih di televisi. Menurut tiga pejabat Gedung Putih, Graham tampaknya cukup konsisten membela Trump.
Graham berbelok menentang Trump setelah Gedung Putih mengumumkan menarik pasukan AS di Suriah pada 6 Oktober lalu yang memicu Turki melancarkan serangan brutal ke utara Suriah untuk menghancurkan pasukan Kurdi yang menjadi sekutu AS selama mereka bertempur melawan ISIS.
"Kesalahan terbesar dalam kepresidenannya," cicit Graham.
Menurut Graham langkah tersebut membuat Trump sama buruknya dengan mantan Presiden AS Barack Obama. Mantan presiden yang pernah tinggal di Indonesia itu menarik mundur pasukan AS dari Irak pada 2011.
"Saya akan melakukan apa pun untuk membantunya, tapi saya juga dapat menjadi mimpi terburuk Presiden Trump," kata Graham dalam acara televisi The 700 Club.
Graham mengatakan keputusan itu membuat pendukung-pendukung ISIS kabur dari penjara dan pasukan Kurdi tanpa penjagaan. Jika ada serangan teroris, kata Graham, maka Trump yang harus disalahkan.
"Kepada Presiden Trump, jika Anda mendengar wawancara ini, jika Anda menyingkirkan pasukan kami dari Suriah, Anda melemparkan Kurdi, ISIS akan kembali dalam pengawasan Anda, dan Iran akan mengambilalih dan Anda, temanku, akan berada dalam bahaya besar kalah dalam pemilihan," kata Graham.