REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kondisi kebebasan berekspresi di Indonesia pada lima tahun mendatang berpotensi menyandang status siaga satu represi kemerdekaan berekspresi. Selain itu, siaga satu represi juga diperkirakan akan menyasar para aktivis pro demokrasi.
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) Damar Juniarto mengatakan, setidaknya ada tiga hal yang mengindikasikan menguatnya potensi itu. Pertama, adanya pembatasan akses informasi kepada masyarakat oleh pemerintah.
"Kami menemukan sejumlah tindakan seperti pemadaman internet (internet shutdown), pemblokiran situs web sebagai tindakan baru yang mengontrol akses informasi," ujar Damar dalam diskusi bertajuk 'Proyeksi Masyarakat Sipil Lima Tahun Mendatang untuk Bidang HAM'di Gondangdia, Jakarta Pusat, Kamis (17/10).
Tindakan semacam ini, kata dia, menambah daftar tindakan yang terjadi sebelumnya, seperti pelarangan peliputan oleh jurnalis asing di Papua, kekerasan terhadap jurnalis meningkat, frekuensi siaran untuk publik masih digunakan untuk kepentingan parpol, pribadi maupun kelompok. "Bentuk kontrol informasi yang juga menguat adalah upaya menerbitkan sejumlah aturan," kata dia.
Ia menduga aturan seperti Rangangan Undang-undang (RUU) Keamanan dan Ketahanan Siber akan makin menguatkan kontrol negara atas informasi di Indonesia. "(Kontrol) Lewat Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), revisi PP Nomor 82 Tahun 2012 tentang penyelenggaraan sistem dan teansaksi elektronik (PSTP)," kata Damar.
Indikasi kedua, kriminalisasi para aktivis pro demokrasi dan jurnalis. Menurut Damar, penangkapan atas sejumlah aktivis yang melakukan kampanye di media sosial maupun isu publik di dunia nyata makin banyak dilakukan.
"Teror negara dimunculkan dengan sejumlah penangkapan ini. Kemudian, ada kekerasan fisik dan non fisik, kriminalisasi jurnalis dengan UU ITE, doxing kepada jurnalis, mobilisasi untuk menghancurkan kredibilitas media dengan perundungan daring di medsos," tutur Damar.
Indikasi ketiga, yakni tindakan pembubaran sejumlah diskusi akademik dan pembatasan masyarakat untuk berkumpul dan menyuarakan pendapat. Ini terlihat pada dalam rangkaian protes di depan Kantor Bawaslu pada Mei 2019, dan aksi massa menolak pelemahan KPK pada September 2019.
"Telah terjadi pembubaran dengan pemukulan, penembakan dengan senjata berpeluru tajam sehingga menimbulkan korban jiwa dan korban luka-luka yang tidak sedikit," tambah Damar.