Jumat 18 Oct 2019 05:35 WIB

JK: Amandemen Bisa Dilakukan, Pilpres tak Bisa Mandataris

JK mengatakan posisi presiden sebagai mandataris MPR tidak bisa diberlakukan lagi.

Wakil Presiden Jusuf Kalla menjawab pertanyaan saat sesi wawancara khusus dengan Antara di Jakarta, Kamis (17/10/2019).
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Wakil Presiden Jusuf Kalla menjawab pertanyaan saat sesi wawancara khusus dengan Antara di Jakarta, Kamis (17/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan amendemen atau usulan perubahan terhadap Undang Undang Dasar 1945 bisa saja dilakukan dengan kembali menghidupkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Namun, posisi presiden sebagai mandataris MPR tidak bisa diberlakukan lagi.

"UUD 1945 kita sudah diamendemen empat kali, dan itu mencerminkan dinamika keinginan masyarakat karena konstitusi itu dinamis juga. Jadi amendemen konstitusi itu hal yang biasa saja. Kalau pilpres tidak langsung, pasti tidak (bisa), itu pasti ditolak oleh rakyat," kata Wapres JK dalam kesempatan wawancara di Kantor Wapres Jakarta, Kamis (17/10).

Baca Juga

Penerapan kembali GBHN melalui amendemen UUD 1945, lanjut JK, bisa saja dilakukan. Namun, ia mengatakan, dengan konsekuensi perubahan mekanisme pedoman perencanaan pembangunan.

Apabila GBHN kembali diberlakukan, calon presiden tidak bisa lagi membuat konsep pembangunannya sendiri, melainkan harus menyesuaikan dengan garis besar tersebut. "Kalau ada GBHN, berarti presiden tidak perlu ada visi dan misi lagi, karena visinya visi negara jadi tinggal bagaimana mencapai itu. Tidak ada lagi (program seperti) Nawacita, karena itu sudah GBHN," tambahnya.

Selain itu, penerapan kembali GBHN juga dapat mengubah posisi presiden di Indonesia menjadi mandataris atau ditunjuk oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Hal itu menyebabkan proses demokrasi lima tahunan sekali lewat pemilihan umum akan menjadi tidak relevan.

Karena itu, Wapres JK berharap pemberlakuan kembali GBHN dipertimbangkan dan dikaji lebih dalam supaya tidak membawa kemunduran sistem demokrasi di Indonesia. "Kalau hanya masalah GBHN silakan, tapi akan banyak perubahan terjadi kalau itu diubah (amendemen), akan timbul lagi lembaga tertinggi. Kita ingin prinsip-prinsip pokoknya tetap pemilihan langsung, itu hak rakyat dalam demokrasi," ujarnya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement