REPUBLIKA.CO.ID, PADANG - Peneliti perkembangan penelitian bahasa isyarat Sumatera Barat Rona Almos mengatakan saat ini Sumbar hanya memiliki delapan orang penerjemah bahasa isyarat untuk 1.250 tunarungu. Dari 8 orang tersebut, 6 orang berada di Kota Padang dan sisanya di luar Kota Padang.
"Jadi sangat terjadi kertimpang dari jumlah penerjemah dengan jumlah tunarungu di Sumbar," Rona Almos, melalui keterangan pers yang diterima Republika, Jumat (18/10).
Rona menjelaskan, kecenderungan bahasa isyarat tunarungu di Sumbar dipengaruhi oleh bahasa isyarat daerah lain. Hal itu menunjukkan tunarungu di Sumbar seperti kurang percaya diri dengan bahasa isyaratnya sendiri. Padahal menurut Rona, setiap daerah memiliki bahasa isyarat dengan karakter tersendiri.
"Kami melihat mereka cepat terkontaminasi dengan bahasa isyarat daerah lain ketika berinteraksi dengan orang tuli dari daerah lain," ujar Rona.
Pengajar dari LRBI Departemen Linguistik FIB UI Iwan Satryawan mengatakan bahasa isyarat sangat penting sebagai media komunikasi di dalam ranah sosial maupun pendidikan. Iwan berpendapat bahasa isyarat harus dilakukan sejak dini bagi orang tua yang punya anak penyandang tunarungu. Ia yakin bila bahasa isyarat dibiasakan sejak kecil, akan tumbuh rasa percaya diri pada anak penyandang tuna rungu dalam tumbuh dan berkembang.
Iwan menyebut saat ini sudah banyak penyandang tunarungu yang berhasil merasakan pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Bahkan sudah banyak penyandang tunarungu mendapatkan posisi strategis di pemerintahan maupun swasta. Ada juga kata Iwan penyandang tunarungu yang berhasil merintis usaha sendiri.
"Di sini peran orang tua sangat penting untuk mendorong anak tunarungu untuk maju dan berprestasi," ucap Iwan.