REPUBLIKA.CO.ID, NIAMEY – Tingkat kelahiran di negara bagian barat Afrika, Niger cukup tinggi. Peningkatan ini menyebabkan negara tersebut kesulitan dalam beradaptasi dengan krisis iklim, dan pelestarian sumber daya yang kian menyusut.
Hal tersebut disampaikan Presiden Niger, Mahamadou Issoufou. Ia menyatakan, tingginya tingkat kelahiran disebabkan kesalahan warganya dalam memahami agama Islam.
"Sebelum Islam datang, perempuan dulu menikah pada usia 18, tetapi karena salah membaca Islam, perempuan muda memiliki bayi pada usia 12 atau 13 tahun. Tapi apa yang dikatakan Alquran? Jika orang terpelajar membaca Alquran, itu berbicara tentang menjadi orang tua yang bertanggung jawab. Islam mengatakan Anda hanya boleh memiliki anak jika Anda bisa merawat mereka dengan baik dan mendidik mereka dengan benar," ungkap Issoufou, dilansir dari laman Guardian, Jumat (18/10).
Issoufou mengatakan, masalah ini juga kemungkinan memiliki dampak langsung terhadap politik Eropa. Ia memperingatkan bahwa migrasi kemungkinan akan melebihi level yang dicapai selama Perang Dunia II.
"Sekolah perlu mendidik perempuan muda, karena kita tidak ingin mereka memiliki anak di usia 12 atau 13 tahun. Idealnya, kita ingin menjaga mereka di sekolah selama mungkin, sampai usia 18 tahun. Ini adalah sesuatu yang baru bagi kita," kata dia.
Niger memiliki penduduk dengan 98 persen Muslim. Ia menegaskan, pandangannya tidak bertentangan dengan imam atau pun pemimpin agama.
Meskipun Issoufou memang menghadapi perlawanan dari beberapa pemimpin Muslim, karena ia menganjurkan keluarga berencana.
"Para pemimpin agama bersama kami dalam meningkatkan kesadaran di antara orang-orang, dan itulah sebabnya kami melihat penurunan (tingkat kelahiran)," ucap Issofou.
Di samping itu, Issoufou mengklaim dirinya telah perlahan menurunkan tingkat kelahiran di negaranya. Dari yang pada awalnya, lebih dari tujuh anak setiap perempuan, sebuah tingkat kelahiran tertinggi di dunia selama dekade terakhir.
Melalui penyebaran kontrasepsi dan sekolah keluarga berencana untuk pria, angka kelahiran perlahan menurun menjadi sekitar enam anak setiap perempuan.
Issoufou mengatakan, ia tidak ingin berpuas diri dari hasil tersebut, masih ada lebih banyak yang harus dilakukan pemerintah untuk menekan tingkat kelahiran. Sementara itu, angka resmi terakhir dari Bank Dunia dari 2016, memberi angka hingga 7,2 anak setiap perempuan.
Adapun populasi Niger berjumlah delapan juta pada 1990. Kemudian angka tersebut mencapai hampir tiga kali lipat, dengan 22,4 juta pada 2018.
"Kami memiliki peningkatan populasi sebesar empat persen per tahun. Populasi akan berlipat ganda dalam 17 tahun ke depan. Pada tahun 2050 kita mungkin memiliki populasi terbesar kedua di Afrika selain Nigeria," kata dia.
Ia menyebutkan di Afrika ada 1,3 miliar orang hari ini, dan akan ada 2,4 miliar pada 2050. Itu berarti 30 juta orang muda per tahun memasuki pasar tenaga kerja. "Jika kita tidak melakukan apa pun untuk menjaga orang di Afrika dengan menciptakan lapangan kerja di dalam negeri, akan ada gelombang migrasi yang besar ketika orang mencari pekerjaan di tempat lain," papar Issoufou.