Jumat 18 Oct 2019 21:45 WIB

Protes Biaya Pakai Whatsapp, Unjuk Rasa di Lebanon Ricuh

Pemerintah Lebanon berencana menaikkan biaya panggilan internet termasuk Whatsapp.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Polisi antihuru-hara Lebanon menembakkan gas air mata ke pengunjuk rasa di Beirut, Lebanon, Jumat (18/10). Demonstran menentang rencana pemerintah memberlakukan pajak baru di tengah krisis ekonomi.
Foto: AP Photo/Hassan Ammar
Polisi antihuru-hara Lebanon menembakkan gas air mata ke pengunjuk rasa di Beirut, Lebanon, Jumat (18/10). Demonstran menentang rencana pemerintah memberlakukan pajak baru di tengah krisis ekonomi.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Ribuan pengunjuk rasa di Lebanon memblokir jalan dengan membakar ban, Jumat (18/10). Protes hari kedua itu masih menuntut hal sama yakni mendesak pemerintah karena kegagalannya dalam mengatasi krisis ekonomi negara. Salah satu kebijakan pemerintah yang mereka protes adalah rencana pengenaan biaya untuk memakai Whatsapp.

Kerusuhan menyebabkan Perdana Menteri Lebanon Saad Hariri membatalkan pertemuan kabinet yang dijadwalkan Jumat untuk membahas rancangan anggaran 2020. Namun, Media Lebanon dilansir Alzairah mengatakan Hariri akan berpidato tentang protes tersebut.

Baca Juga

Kobaran api dari pembakaran ban yang menyala di jalan pusat kota Beirut membara pada Jumat pagi. Trotoar jalan dipenuhi puing-puing kaca dari beberapa bagian depan toko yang hancur dan baliho banyak yang dirobohkan.

National News Agency (NNA) melaporkan, para pengunjuk rasa memblokir jalan-jalan di utara, selatan dan Lembah Bekaa. Sekolah juga diliburlan atas instruksi pemerintah. "Kami adalah satu orang yang bersatu melawan negara. Kami ingin negara itu jatuh," kata seorang pengunjuk rasa di kota Jeita, sekitar 20 km (12,4 mil) dari Beirut. "Revolusi, revolusi!" mereka berteriak.

Di Beirut, ribuan orang berbaris di dekat markas besar pemerintah Serail meneriakkan "rakyat menginginkan kejatuhan rezim". Protes  hari kedua yang berujung ricuh tersebut di mana negara yang terpecah belah menurut garis sektarian. Letak wilayah geografis yang luas dari protes-protes itu telah dilihat sebagai tanda kemarahan yang semakin mendalam kepada para politisi yang bersama-sama memimpin Lebanon ke dalam krisis.

Sementara itu, Pemerintah yang mencakup hampir semua partai utama Lebanon sedang berjuang untuk mengimplementasikan reformasi yang telah lama tertunda. Reformasi itu dipandang lebih penting daripada sebelumnya untuk mulai menyelesaikan krisis.

Surat kabar Lebanon An-Nahar menggambarkan protes sebagai "intifada pajak", atau pemberontakan di seluruh Lebanon. Harian lain, al-Akhbar menyatakannya "revolusi WhatsApp" yang telah mengguncang pemerintahan persatuan Perdana Menteri Hariri.

Pemerintah Lebanon tengah mencari cara untuk meningkatkan pendapatan. Seorang menteri pemerintah pada Kamis mengumumkan rencana untuk menaikkan biaya baru sebesar 20 sen sehari bagi penggunaan panggilan melalui voice over internet protocol (VoIP) yang digunakan oleh aplikasi termasuk WhatsApp milik Facebook.

"Orang-orang sudah hampir tidak tahan. Masalah WhatsApp menghancurkan apa pun yang masih mereka pegang. Alhamdulillah, orang-orang telah terbangun," kata pengunjuk rasa, Rami. Ketika protes meluas, Menteri Telekomunikasi Mohamed Choucair menelepon ke stasiun penyiaran Lebanon untuk mengatakan bahwa retribusi yang diusulkan telah ditangguhkan. 

Hancur oleh perang antara 1975 dan 1990, Lebanon memiliki salah satu beban utang tertinggi di dunia. Pertumbuhan ekonomi negara itu telah dilanda konflik regional dan ketidakstabilan.  Pengangguran di antara mereka yang berusia di bawah 35 mencapai 37 persen.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement