Sabtu 19 Oct 2019 00:22 WIB

Sertifikasi Halal Bagi Produsen Non-Mamin Dibuka 2021

BPJH sebut sertifikasi halal non-mamin akan menggandeng Kementerian Kesehatan

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Sukoso - Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH)
Foto: Republika/ Wihdan
Sukoso - Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal resmi diteraapkan pada Kamis (17/10) lalu. Sebagai tahap awal, kewajiban sertifikasi halal diberlakukan terlebih dahulu untuk produk makanan dan minuman (Mamin) sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 26 Tahun 2019 tentang Jaminan Produk Halal.

Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Sukoso menjelaskan, pertimbangan untuk memprioritaskan proses sertifikasi halal bagi produk makanan dan minuman, didasari oleh sejumlah hal. Salah satunya karena produk makanan dan minuman merupakan produk primer bagi masyarakat dan sangat memerlukan kejelasan kehalalannya.

Berdasarkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), terdata sekitar 1,6 juta produsen makanan dan minuman di Indonesia. Sedangkan hanya sekitar 500 ribu saja yang sudah berhasil tersertifikasi halal oleh LPPOM MUI. Fakta ini pula yang membuat BPJPH memutuskan untuk fokus memproses sertifikasi halal bagi produk makanan dan minuman, kata Sukoso.

"Untuk lima tahun pertama, BPJPH memprioritaskan produk makanan dan minuman, karena ini merupakan produk primer bagi masyarakat yang sangat penting kejelasan kehalalannya. Produsen makanan dan minuman juga sangat banyak, begitu juga varian produknya, belum lagi dengan produsen baru yang bermunculan. Maka kami memberikan waktu yang cukup lama untuk proses sertifikasinya," kata Sukoso kepada Republika.

Sedangkan layanan sertifikasi bagi produk di luar makanan dan minum seperti obat atau kosmetik, kata Sukoso, rencananya akan mulai dibuka pada 2021. BPJPH, katanya, juga sudah bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan untuk proses sertifikasi tersebut.

"Disitu juga ada masa penahapan yang berbeda, tergantung kompleksitas produknya. Kita sudah diskusikan dengan Kemenkes, misalnya, obat tradisional itu 7 tahun, suplemen kesehatan 7 tahun, obat bebas dan obat bebas terbatas 10 tahun, lalu obat keras 15 tahun, dan seterusnya," ungkapnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement