REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Hillary Clinton terbukti tidak bersalah dalam kasus penggunaan e-mail pribadi selama menjabat sebagai menteri luar negeri. Penyelidikan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) tidak menemukan bukti adanya kesalahan dalam kasus e-mail Clinton.
Hasil penyelidikan ini diumumkan oleh Senator Chuch Grassely dari Partai Republik pada Sabtu (19/10). Penyelidikan tersebut untuk mengetahui apakah Clinton yang menjadi diplomat tertinggi AS dari tahun 2009 sampai 2013 telah membahayakan informasi rahasia negara dengan menggunakan e-mail pribadi bukannya email pemerintah.
Pada 2014 lalu, Clinton menyerahkan lebih dari 33 ribu e-mail dari server pribadinya. Departemen Luar Negeri AS menemukan tidak ada bukti persuasif sistemik yang disengaja dalam menyalahgunakan informasi rahasia.
Namun penyelidikan menemukan penggunaan server pribadi yang dilakukan Clinton meningkatkan risiko peretasan. Hal ini menjadi pusat kontroversi pemilihan presiden tahun 2016.
Clinton yang diusung Partai Demokrat kalah dari Donald Trump yang diusung Partai Republik. Trump kerap menyerang Clinton yang mencoba menyembunyikan sesuatu dengan menggunakan server jaringan pribadi.
Hal ini diumumkan lima bulan sebelum pemilihan presiden tahun 2016 oleh direktur FBI saat itu James Comey. Tidak ada dakwaan terhadap Clinton. Tapi menurutnya tindakan Clinton itu 'sangat amat ceroboh'.
Ini setelah sejumlah e-mail Clinton ditemukan di laptop milik staf terdekat suaminya. Beberapa hari sebelum pemilihan, FBI membuka kembali penyelidikan ini. Clinton mengatakan keputusan FBI membuka kembali penyelidikan itu telah merugikan kampanyenya.
Penyelidikan Departemen Luar Negeri AS menemukan 38 karyawan dan mantan karyawan bertanggung jawab atas 91 pelanggaran protokol keamanan yang melibatkan server Clinton. Departemen Luar Negeri AS tidak mengumumkan identitas 38 orang itu. Departemen Luar Negeri AS juga menemukan 487 pelanggaran, tapi tidak menemukan orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut.