REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Mantan kepala kepolisian nasional Filipina Jenderal Oscar Albayalde menghadapi pengaduan pidana sehubungan dengan dugaan penjualan kembali obat-obatan terlarang yang disita. Atas kasus tersebut, dia pun mengundurkan diri dari jabatan pekan lalu.
Albayalde membantah tuduhan itu, meski begitu dia akan membantu penyelidikan kepolisian selama proses hukum berlangsung. Dia merupakan sosok terdepan dalam memimpin kebijakan Presiden Rodrigo Duterte terhadap pemberantasan narkoba di Filipina.
Penyelidikan Senat, yang diadakan bulan ini, merekomendasikan Albayalde dan 13 petugas polisi lain di bawah komandonya didakwa dengan tuduhan narkoba dan korupsi. Mereka diduga menjual kembali narkotika sitaan pada 2013.
Pengaduan pidana diajukan oleh Grup Investigasi dan Deteksi Kepolisian Nasional Filipina (PNP-CIDG), badan yang bertugas menyelidiki kejahatan yang dilakukan polisi, pada Senin (21/10). Departemen Kehakiman akan memutuskan apakah mereka ingin menuntut mantan kepala polisi dan 13 lainnya berdasarkan dakwaan yang diajukan.
Albayalde sejak 2018 adalah kepala polisi nasional kedua yang menegakkan tindakan keras yang kontroversial terhadap pemberantasan narkoba. Duterte meluncurkan kampanye anti-narkotika pada 2016 untuk menangani masalah narkoba yang merajalela di negara ini.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia menuduh banyak pembunuhan dalam operasi itu adalah eksekusi. Pemerintah tidak memberikan para tersangka kesempatan untuk membela diri di pengadilan.
Meskipun Filipina sekarang menjadi subyek investigasi Hak Asasi Manusia PBB, pemerintah terus melakukan kebijakan kontroversialnya. Polisi selalu menyatakan pembunuhan adalah hasil dari pembelaan diri. Pendukung Rodrigo menunjuk ke jajak pendapat yang mendukung keputusan tersebut.
Pada Juli, Dewan Hak Asasi Manusia PBB memilih mengadakan penyelidikan terhadap dugaan kejahatan yang dilakukan selama perang pemerintah Filipina terhadap narkoba. Laporan akan fokus pada laporan pembunuhan di luar proses hukum, penangkapan sewenang-wenang dan penghilangan paksa. Pemerintah Filipina menentang resolusi tersebut dan mencapnya sebagai ejekan.