REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Tim Kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth menyebutkan, untuk menyelesaikan persoalan Papua, ada tiga resolusi konflik yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Salah satunya adalah manajemen konflik.
"Pertama, manajemen konflik. Kedua, pencegahan konflik, dan ketiga transformasi konflik," kata Adriana dalam Seminar Nasional bertema "Jalan Damai Penyelesaian Konflik di Papua", di Universitas Satya Negara Indonesia, Jakarta, Senin (21/10).
Menurut dia, manajemen konflik penting dilakukan untuk mengurangi masalah perbedaan pemahaman Papua, mengurangi kesalahpahaman, dan menganalisis faktor yang melemahkan proses perdamaian. "Harmonisasi pendekatannya melalui dialog dan pendekatan pembangunan, hukum, dan polkam," katanya.
Kemudian, terkait pencegahan konflik yang harus dijadikan pendekatan adalah keamanan manusia, membangun kohesi sosial (mencegah konflik antarwarga Papua), pemberdayaan secara inklusif, dan ketahanan nasional (evaluasi regulasi, penguatan kelembagaan, koordinasi dan sinergi).
"Transformasi konflik, yakni mengubah potensi negatif menjadi positif. Pendekatan pada proses dan perubahan atau perbaikan setiap aspek. Proses jangka panjang, multitrack dan inklusif melalui pemberdayaan generasi muda, pemberdayaan perempuan dan lain-lain," ujarnya pula.
Selain itu, harmonisasi aturan kelembagaan dan pendekatan terintegrasi juga sangat penting dilakukan di Papua. Kemudian, evaluasi dan penataan pendekatan keamanan negara dan pendekatan keamanan manusia.
"Kita harus menjalankan harmonisasi pendekatan yakni dengan adanya dialog dan pendekatan pembangunan. Harmonisasi kelembagaan itu penting karena setiap lembaga harus bahu-membahu dalam mengatasi konflik di Papua," kata Adriana.
Dalam kesempatan itu, dia menjelaskan, dalam dinamikanya, pembangunan infrastruktur di Papua cukup berhasil dilaksanakan. Tetapi, upaya tersebut tentunya juga harus memperhatikan dampak sosial yang timbul.
"Pembangunan infrastruktur di Papua cukup berhasil. Tetapi juga harus diperhatikan dampak sosial. Selalu ada dampak perubahan sosial yang negatif maupun positif," ujarnya.
Menurut dia, pembangunan infrastruktur di Papua tentunya sudah sangat membantu mobilitas warganya. Bahkan, masyarakat Papua kini sudah semakin mudah menjual hasil bumi ke pasar-pasar yang ada.
"Selalu ada dampak perubahan sosial yang negatif maupun positif. Perubahan positif, penduduk Papua bisa menjual hasil bumi dengan mudah. Perubahan negatif, perbaikan infrastruktur mempermudah peredaran minuman keras," ujarnya.
Tokoh Pemuda Papua Methodius Kosas menjelaskan, situasi yang terjadi di Papua sudah dilihat dari beberapa tahun yang diwarnai kekerasan. Padahal, masyarakat di Papua merupakan sebuah agen perubahan untuk masa depan.
"Adanya luka batin kepercayaan yang dialami oleh masyarakat Papua, yang merupakan metode pendekatan, seperti pendekatan budaya, religius, humanistik dan pendekatan personal. Ini merupakan permasalahan yang sedang terjadi di Papua," katanya lagi.
Ketua Program Studi Hubungan Internasional USNI Pradono Budi Saputro menuturkan, Papua resmi bergabung dengan NKRI setelah diadakannya Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) pada tahun 1969. Hasil tersebut dikukuhkan dengan Resolusi PBB 2504. Tidak semua kelompok puas dengan hasil Pepera tersebut salah satunya adalah kelompok yang bernama OPM (Organisasi Papua Merdeka).
Kemudian, dengan adanya NGO yang mengatasi isu Papua yaitu Melanessia Sparehard Group (MSG) dan adanya WLMP yang merupakan organisasi nonpemerintah yang telah disahkan oleh PBB untuk mengatasi isu permasalahan HAM yang ada di Papua.
"Indonesia sebagai negara anggota observer WLMP dan MSG untuk mengatasi permasalahan yang ada Papua dengan cara melakukan diplomasi persuasif," kata Pradono Budi Saputro.