REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Pada 22 Oktober 1964, Jean-Paul Satre dianugerahi Hadiah Nobel untuk sastra. Namun, hadiah itu langsung ia tolak.
Dilansir History, Selasa (22/10), Sartre merupakan salah satu sosok eksistensialisme yang tertuang dalam novel, esai, dan perannya. Ia berpendapat bahwa setiap individu harus menciptakan makna bagi kehidupannya sendiri, sebab kehidupan itu tidak memiliki makna bawaan.
Satre belajar di sekolah elit Ecole Normale Superieure antara 1924 dan 1929. Dia kemudian bertemu sosok filsuf perempuan, Simone de Beauvoir yang menemaninya hingga akhir hayat. Mereka menghabiskan waktu kebanyakan di kafe dengan berdiskusi, menulis, dan sekadar minum kopi.
Sartre menjadi profesor filsafat dan mengajar di Le Havre, Laon, dan Parais. Pada 1938, novel pertamanya berjudul Mual diterbitkan. Pada 1939, ia kemudian ikut Perang Dunia II. Dia ditahan selama sekitar hampir satu tahun dan bertarung dengan Perlawanan Prancis kala itu.
Pada 1943, ia mengeluarkan salah satu karya unggulannya Being and Nothingness. Dalam buku tersebut menurutnya, bahwa manusia dikutuk kebebasan dan memiliki tanggung jawab sosial. Kemudian pada 1968, Sartre dan Beauvoir terlibat dalam gerakan sosial mendukung komunisme dan pemberontakan mahasiswa radikal di Paris. Di tahun yang sama, ia menulis salah satu karya sastra terkenalnya The Flies, diikuti dua tahun kemudiannya No Exit.
Pada 1945, Sartre memulai novel empat jilid berjudul The Roads to Freedom. Pada 1946, ia terus mengembangkan filosofinya dalam Eksistensialisme dan Humanisme.
Pada 1950-an dan 60-an, ia mengabdikan dirinya untuk mempelajari tokoh-tokoh sastra seperti Baudelaire, Jean Genet, dan Flaubert. The Family Idiot, karyanya tentang Flaubert, menjadi karya sangat besar, tetapi hanya tiga dari empat volume yang diterbitkan. Kesehatan dan penglihatan Sartre lambat laun menurun pada tahun-tahun berikutnya, dan ia meninggal pada 1980.