Selasa 22 Oct 2019 08:06 WIB

Jerman Ingin Kirim Militer untuk Bentuk Zona Aman Suriah

Jerman berdalih ingin melindungi warga sipil Suriah dengan membentuk zona aman.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Tentara oposisi Suriah yang didukung Turki mengendarai kendaraan bersenjata di Akcakale, Sanliurfa, tenggara Turki, Jumat (18/10).
Foto: AP Photo/Mehmet Guzel
Tentara oposisi Suriah yang didukung Turki mengendarai kendaraan bersenjata di Akcakale, Sanliurfa, tenggara Turki, Jumat (18/10).

REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Menteri Pertahanan Jerman Annegret Kramp-Karrenbauer menyarankan pembentukan zona aman di utara Suriah untuk melindungi warga sipil yang terlantar. Selain itu, pada pernyataannya Senin, ia meminta untuk memastikan bahwa pertempuran terus berlanjut melawan milisi ISIS.

"Saran saya adalah agar kita mendirikan zona aman yang dikendalikan secara internasional yang melibatkan Turki dan Rusia," ujar Kramp-Karrenbauer yang juga merupakan sosok pemimpin dari partai konservatif Kanselir Angela Merkel.

Baca Juga

Ia juga menyarankan untuk menstabilkan wilayah sehingga warga sipil dapat membangun kembali rumah mereka, dan para pengungsi dapat kembali secara sukarela. Kramp-Karrenbauer menambahkan, dia telah berdiskusi kuat dengan Merkel menyoal gagasan zona keamanan di utara Suriah. Dia juga telah mengumumkan gagasan itu kepada sekutu terpenting Jerman.

Pernyataannya adalah pertama kalinya pemerintah Jerman mengusulkan militer di Timur Tengah. Jika didukung oleh Turki dan Rusia, Berlin akan mengirim militer ke Suriah sebagai bagian dari misi.

Proposal yang diajukan Kramp-Karrenbauer dinilai dapat meningkatkan ketegangan di dalam koalisi yang berkuasa Merkel. Sebab, Demokrat Sosial yang ikut dalam pemerintahan merasa ragu terhadap keterlibatan militer langsung di Suriah.

Kramp-Karrenbauer membela gagasannya. Dia tak mau mendengar para politisi Jerman yang hanya menyatakan khawatir tentang kekerasan di Suriah tanpa adanya tindakan nyata. "Jerman dan partai-partai berkuasa harus berbuat lebih banyak dan membantu menyelesaikan krisis internasional," kata menteri.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyatakan akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan di timur laut Suriah. Hal itu akan dilakukannya setelah bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin pada Selasa (22/10) waktu setempat di Sochi.

"Kami akan mengambil proses ini dengan Putin. Setelah itu kami akan mengambillangkah-langkah yang diperlukan," kata Erdogan tanpa menjelaskan lebih detail.

Pada Kamis pekan lalu, Turki dan Amerika Serikat (AS) menyetujui gencatan senjata selama lima hari di Suriah. Hal itu untuk memberi waktu bagi pasukan Kurdi menarik diri dari “zona aman” yang hendak didirikan di dekat perbatasan Turki-Suriah. Zona aman itu nantinya akan dibangun permukiman untuk ditempati para pengungsi Suriah. Dalam kesepakatan itu, Turki setuju memberikan waktu lima hari kepada Pasukan Demokratik Suriah (SDF) dan Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG) untuk hengkang dari zona aman sejauh 32 kilometer di selatan perbatasan Turki di Suriah.

Akhir pekan lalu Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan pihaknya akan melanjutkan serangan militer ke Suriah timur laut jika kesepakatan dengan AS mengenai penarikan pasukan Kurdi dari dekat perbatasannya tak sepenuhnya dilaksanakan. Pada Senin (21/10), Turki menyatakan siap melanjutkan operasi militernya di timur laut Suriah. Operasi yang bertujuan menumpas pasukan Kurdi itu diketahui terhenti setelah Turki mencapai kesepakatan dengan AS pada 17 Oktober lalu.

"Kami memiliki 35 jam lagi. Jika mereka tidak mundur, operasi kami akan dilanjutkan. Ini juga yang kita sepakati dengan Amerika," ujar Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu pada Senin (21/10), dikutip laman Aljazirah.

Menurut Cavusoglu, pasukan Kurdi mematuhi kesepakatan yang telah dicapai dengan AS. Mereka menarik diri dari daerah-daerah yang dikontrol Turki. Namun dia menuding kelompok Kurdi Suriah melakukan 30 pelanggaran tembakan langsung saat gencatan senjata masih diterapkan. Cavusoglu mengatakan Turki akan membalas serangan itu

Turki memulai operasi militer di timur laut Suriah pada 9 Oktober lalu. Ankara ingin menumpas pasukan Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG) dan Partai Persatuan Demokratik Suriah (PYD). Ankara memandang YPG sebagai perpanjangan dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK), kelompok bersenjata Kurdi yang telah melancarkan pemberontakan di Turki tenggara selama lebih dari tiga dekade. Turki telah melabeli YPG dan PKK sebagai kelompok teroris.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement