Selasa 22 Oct 2019 09:08 WIB

PM Inggris Minta Parlemen tak Lagi Tunda Brexit

PM Inggris Boris Johnson meminta parlemen menyetujui rancangan kesepakatan Brexit.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson berbicara kepada media di luar kantor perdana menteri 10 Downing Street di London, Senin (2/9). Johnson mengatakan dia tidak ingin ada pemilu di tengah krisis Brexit.
Foto: AP Photo/Matt Dunham
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson berbicara kepada media di luar kantor perdana menteri 10 Downing Street di London, Senin (2/9). Johnson mengatakan dia tidak ingin ada pemilu di tengah krisis Brexit.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON - Perdana Menteri Inggris Boris Johnson meminta anggota parlemen untuk menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Brexit pekan ini. Dia mengatakan, Uni Eropa (UE) ataupun publik tidak menginginkan penundaan lagi bagi hengkangnya Inggris dari UE (Brexit).

Dalam permohonan terakhir kepada legislator sebelum pemungutan suara tahap pertama RUU Penarikan, Johnson menegaskan, dirinya telah mendapatkan paket kesepakatan baru sehingga Inggris dapat melanjutkan dan membahas masalah-masalah seperti layanan kesehatan, pendidikan, dan biaya hidup. "Saya berharap parlemen hari ini memilih untuk mengambil kembali kendali untuk kebaikan," kata Johnson dalam sebuah pernyataan di depan pemilihan, Selasa (22/10).

Baca Juga

"Publik tak ingin penundaan lagi, begitu juga para pemimpin Eropa lainnya, dan juga saya. Mari kita lakukan Brexit pada 31 Oktober dan lanjutkan," ujarnya menambahkan.

Johnson beupaya keras untuk mencapai kesepakatan pada tenggat waktu 31 Oktober, hanya sepekan sebelum Inggris meninggalkan UE melalui persetujuan parlemen Inggris. Kekalahan Johnson di Parlemen Inggris atas rafikasi kesepakatan yang ia buat dengan UE membuat perdana menteri dihadapkan dengan undang-undang yang melarang Brexit digelar tanpa kesepakatan. Parlemen mendorong pemerintah mengajukan penundaan sampai 31 Januari.

Johnson kini berupaya untuk mengesahkan undang-undang yang mengimplementasikan perjanjian melalui parlemen secepat mungkin. Lebih dari tiga tahun setelah Inggris memutuskan untuk meninggalkan UE dalam referendum 2016, masa depan Brexit tetap tidak menentu seperti sebelumnya. Negara terpecah, dan parlemen masih memperdebatkan kapan, bagaimana, dan bahkan masih mempertanyakan apakah Brexit harus terjadi.

Parlemen Inggris memaksa Johnson untuk perpanjangan negosiasi dengan UE. Namun Johnson menegaskan lebih baik "mati" daripada meminta. Sebaliknya, Johnson mengirim surat tambahan ke Uni Eropa yang berisi bahwa dia tidak ingin penundaan. Hal tersebut membuat beberapa anggota parlemen semakin khawatir sehingga menginginkan perlindungan dalam hukum untuk memastikan Johnson tidak dapat membawa Inggris keluar dari UE tanpa kesepakatan sebab akan merusak perekonomian.

Pertarungan parlemen dengan Johnson dimulai Selasa. Anggota parlemen akan berdebat dan memilih RUU Penarikan, aturan yang menempatkan kesepakatan Brexit dalam hukum domestik Inggris. Pemerintah telah mengusulkan agar anggota parlemen memberikan suara sebelum menetapkan jadwal dipercepat untuk prosesnya melalui majelis rendah dan majelis tinggi parlemen pada tenggat waktunya.

Anggota parlemen oposisi menuduh Johnson mencoba melanggar RUU melalui parlemen tanpa memberikan ruang yang cukup untuk mempelajari RUU 110 halaman. Anggota parlemen dapat memilih untuk menolak jadwal tersebut yang tentu akan mengancam tenggat waktu 31 Oktober. Meski demikian, tim Johnson yakin perdana menteri memiliki angka untuk pada akhirnya memaksanya menyepakati.

"Kami telah menegosiasikan kesepakatan baru sehingga kami dapat melakukannya tanpa gangguan dan menyediakan kerangka kerja untuk hubungan baru berdasarkan perdagangan bebas dan kerja sama yang bersahabat," kata Johnson dalam pernyataan Senin. "Kami meninggalkan UE tetapi kami akan selalu menjadi orang Eropa," ujarnya.

Parlemen Eropa sebelumnya telah menandatangani persetujuan perjanjian antara Inggris dan eksekutif UE pada pertemuan puncak di Brussel, pekan lalu. Namun, ada beberapa anggota parlemen Inggris menentang upaya Johnson untuk meratifikasi kesepakatan dengan cepat.

Pekan lalu, PM Johnson mengungkapkan telah membuat perjanjian baru dan sudah disepakati dengan UE. Perjanjian kali ini menghapus klausul kontroversial, yang dinilai sejumlah kritikus dapat membuat Inggris tetap terikat dengan aturan bea cukai UE untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. 

Irlandia Utara akan tetap berada di bawah serikat bea cukai Inggris di bawah perjanjian baru. Namun nantinya tetap akan ada pemeriksaan bea cukai untuk sejumlah barang yang menuju Irlandia dan pasar tunggal UE.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement