REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Koperasi dan UKM mendorong petani kopi membentuk koperasi agar tidak terjebak dengan permainan tengkulak. Sekretaris Deputi Bidang Produksi dan Pemasaran, Kementerian Koperasi dan UKM Daniel Asnur menyampaikan pembentukan koperasi membuat kesejahteraan petani lebih terjamin dan mudah dalam mengakses permodalan.
"Kenapa harga kopi terus naik tapi kesejahteraan petani kopi kita tidak meningkat. Ini karena terlalu banyak mata rantai distribusi dan petani yang belum mandiri melalui koperasi dan banyak yang terjebak dengan permainan tengkulak," ujarnya dalam kegiatan Temu Petani Kopi bertajuk 'Rantai Distribusi untuk Membentuk Ekosistem Kopi yang Berkelanjutan' di Desa Loa, Kecamatan Paseh, Bandung, Jawa Barat, Senin (21/10).
Dengan berkoperasi, menurut Daniel, rantai distribusi bisa dipangkas sehingga harga kopi di tingkat petani bisa meningkat. Koperasi juga bisa melakukan pengadaan pupuk bagi petani, serta melakukan pemasaran produk yang dihasilkan. Apalagi jika yang dibentuk adalah koperasi produksi, akan membuat produk-produk kopi yang dihasilkan berkualitas dan bernilai tambah tinggi.
"Akses permodalan juga semakin mudah. Kita jadi bisa lakukan pendampingan. Kita juga bisa ajak kerjasama stakeholder seperti Kementerian Pertanian melatih petani menghasilkan biji kopi berkualitas," ucapnya.
Lebih lanjut, Daniel mengaku sengaja menghadirkan para pelaku usaha yang juga berkecimpung dalam bidang kopi agar dapat mengedukasi dan terjalinnya kerja sama langsung dengan setiap kelompok tani.
Kepala Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Bandung Cakra Amiyana mengatakan badan usaha berbentuk koperasi paling tepat bagi petani, karena prinsip keadilan dan gotong royong. Ia juga berjanji untuk memfasilitasi dan memudahkan kelompok-kelompok petani untuk mendirikan koperasi.
"Petani harus diberdayakan dalam bentuk koperasi, jangan sampai petani kopi ini cape-cape tapi yang banyak untung pihak lain, semua harus adil antara harga di hulu dan hilir," kata Cakra.
Sementara itu, Founder Faba Coffee, Rezky Ardha Supriadi mengaku prihatin dengan kemampuan petani mengolah hasil panen kopi. Apalagi, dirinya melihat langsung kulit kopi tidak diolah untuk menjadi nilai tambah. Begitupun hasil panen, seharusnya tidak dijual dalam bentuk gelondongan, tapi minimal diolah hingga berbentuk biji kopi (green bean) sehingga harga jual lebih tinggi.
"Kulit kopi bisa dijadikan teh, biasanya saya beli di produsen Rp40 ribu per kilogram, disini cuma untuk pupuk. Padahal kalau dijual uangnya bisa buat beli pupuk lebih berkualitas," ucap Rezky.