Untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional perlu keputusan politik yang kuat dari pemerintah. Sebab, berbagai masalah yang muncul sebagai kendala mewujudkan ketahanan pangan harus didukung kebijakan pemerintah pusat yang kuat.
"Bicara pangan, maka kita langsung berpikir produksi beras," ujar anggota DPR RI, Herman Khaeron di sela Focus Group Discussion yang digelar Indopos.co.id dengan tema "Tantangan dan Peluang Pangan Dalam Negeri" di Jakarta (21/10/2019). Namun, lanjut Herman, berkurangnya luas lahan pertanian menjadi masalah krusial. Sementara, mencari lahan baru yang cocok untuk pertanian, seperti sawah, tidak mudah. Karena itu, harus ada keputusan politik yang kuat. Lahan pertanian tidak boleh diubah. Supaya lahan pertanian yang ada saat ini, tidak terus menyusut.
Berkurangnya lahan pertanian, di antaranya seperti karena gencarnya pembangunan infrastruktur, industri dan perumahan. "Jadi, butuh keputusan politik yang kuat, untuk melindungi lahan pertanian," kata politisi Partai Demokrat ini. Menurutnya, diversifikasi pangan juga perlu dilakukan. Selain beras, juga ada sagu dan jagung. Serta memaksimalkan potensi perikanan, karena potensi luasnya lautan Indonesia.
Sementara itu, Kepala Bidang Ketersediaan Pangan, Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian Rachmi Widiriani, mengatakan, sejak tahun 2012, ketahanan pangan dan gizi terus disosialisasikan. "Ada dua hal yang penting terkait ketahanan pangan dan gizi. Pertama, kecukupan pangan tidak hanya dilihat dari jumlahnya. Tapi juga bagaimana pangan mendukung aspek kesehatan. Dan yang kedua, bagaimana kelanjutan pangan itu diproduksi," ujarnya. Pihaknya akan terus menyuarakan ketahanan pangan dan gizi, efektifitas ketahanan pangan, dan sanitasi serta pencegahan infeksi menjadi perhatian.
“Seberapa kuat ketahanan pangan dan gizi kita. Pada 2015-2018 ada 177 kabupaten/kota yang meningkat status ketahanan pangannya. Global Food Security Index kita juga naik, dari 74 ke 65. Selain itu, rata-rata pertumbuhan pangan strategis, terdapat peningkatan. Seperti produksi padi, jagung, cabe, dan sebagainya. "Dari sisi ketersediaan energi, juga mengalami peningkatan. Kami sudah menghitung itu," ujar dia.
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Ilmu Ekonomi IPB, Hermanto Siregar, mengatakan, bicara lahan pertanian dan sumber komoditi pangan, masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Misal GDP pertanian masih berkontribusi PDB 13 persen, mayoritas dari berbagai komoditi dari Jawa. "Apa yang terjadi kalau pulau Jawa rusak ekosistemnya. Padi lebih dari separuh dari Jawa," ujarnya.
Menurut Hermanto, ancaman konversi lahan selain infrastruktrur, adalah perumahan industri dan fragmentasi lahan. "Misalnya seseorang dapat warisan tanah pertanian 5 hektar pertanian, itu akan terus menyusut lahannya, dibagi ahli waris dan seterusnya," ujarnya. Karena itu, dia sepakat perlunya perlindungan lahan pertanian. Serta dilakukan diversifikasi pangan.
Sementara itu, Pengamat Pertanian, Khudori berpendapat, kebijakan stabilisasi harga pangan harus ada. "Sekarang apa yang dilakukan satu-satunya beras. Instrumen stabilisasi pasar, yang masih ada operasi pasar. Hampir semua mekanisme pangan di luar beras diserahkan ke pasar," ujar Khudori. Walaupun kata dia, ada aturan dari Kemendag, ada 9 produk komoditas. Namun itu realitas di lapangan diserahkan ke pasar.
Menurut Khudori, pemerintah harus cerdas memilah omoditas mana yang menjadi prioritas. “Pertama, beras. Setelah itu, baru komoditas lainnya. Ada juga subsidi output. Perlu dilakukan juga peningkatan produksi. Memanfaatkan inovasi dan teknologi. Meningkatkan produksi, harus memperhatikan pelaku. Sebab, Nilai Tukar Petani bergerak di situ-situ aja. Petani harus sejahtera," kata dia menyarankan.
www.swa.co.id