REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof KH Said Aqil Siroj menyampaikan pidato kebudayaan dalam rangka peringatan Hari Santri Nasional di Gedung Kesenian Jakarta, Selasa (22/10) malam. Dalam pidatonya, Kiai Said menyajak seluruh bangsa untuk merefleksikan Islam dan Keindonesiaan.
"Saya ingin mengajak para hadirin dan seluruh bangsa Indonesia untuk berefleksi, memikirkan, dan berimaginasi tentang Islam dan muslim serta Keindonesiaan di masa-masa yang akan datang, terutama pada saat Indonesia berumur 100 tahun," ujar Kiai Said di depan ratusan hadirin.
Menurut dia, hal itu penting dilakukan atas dasar beberapa hal. Pertama, kata dia, karena pada akhir-akhir ini penggunaan sintimen agama dalam ruang politik semakin menguat, dimulai dari peristiwa Pilkada DKI yang melahirkan gerakan politik 212 sampai pada pemilihan presiden kemarin.
Kedua, kata dia, seluruh bangsa perlu merefleksikan Islam dan Keindonesiaan karena eksklusivitas, intoleransi, dan radikalisme beragama, khususnya di kalangan umat Islam semakin hari semakin menguat. "Eksklusivitas, intoleransi, dan radikalisme beragama ini bukan saja merusak agama Islam tetapi juga merusak kehidupan berbangsa dan bernegara," ucap Kiai Said.
Keempat, seluruh bangsa perlu merefleksikan tentang Islam dan Keindonesiaan karena kelompok yang ingin mengganti Pancasila sebagai dasar negara telah mengalami peningkatan. "Mereka berpandangan bahwa Pancasila itu bertentangan dengan Islam. Padahal, melalui Muktamar NU di Situbondo, para kiai telah memutuskan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam," kata Kiai Said.
Sebelum Kiai Said menyampaikan pidato, acara peringatan Hari Santri ini menampilkan beberapa tarian khas Indonesia, seperti tarian dari Aceh, Bali, dan Papua. Acara ini dihadiri beberapa tokoh agama dan tokoh partai, di antaranya KH. Maksum Mahfud, Hidayat Nur Wahid, Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini, Sekjen Golkar Letjen (Purn) Lodewijk Freidrich Paulus, dan Sekjen PDIP Hasto Kristianto.