Rabu 23 Oct 2019 07:45 WIB

Turki dan Rusia Sepakat Kerahkan Militer Bersama di Suriah

Militer Turki dan Rusia mengisi kekosongan di wilayah yang ditinggalkan pasukan AS.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nur Aini
Tentara oposisi Suriah yang didukung Turki mengendarai kendaraan bersenjata di Akcakale, Sanliurfa, tenggara Turki, Jumat (18/10).
Foto: AP Photo/Mehmet Guzel
Tentara oposisi Suriah yang didukung Turki mengendarai kendaraan bersenjata di Akcakale, Sanliurfa, tenggara Turki, Jumat (18/10).

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Rusia dan Turki mencapai kesepakatan yang akan memperkuat kekuatan di Suriah pada Selasa (22/10). Mereka mengerahkan pasukan di hampir seluruh wilayah perbatasan timur laut untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh pasukan Amerika Serikat (AS).

Kesepakatan baru dicapai oleh Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan setelah enam jam negosiasi. Mereka melakukan pertemuan dan perbincangan seputar peta Suriah di resor Sochi di Laut Hitam.

Baca Juga

"Saya percaya perjanjian ini akan memulai era baru menuju stabilitas abadi Suriah dan dibersihkan dari terorisme. Saya berharap perjanjian ini bermanfaat bagi negara kita dan saudara-saudara kita di Suriah," kata Erdogan.

Perjanjian itu yang memicu perubahan drastis peta pertempuran di Suriah itu dipicu keputusan Presiden AS Donald Trump yang menarik pasukan militer pada dua pekan lalu. Tentara AS di Suriah bertempur selama lima tahun bersama pasukan pimpinan Kurdi di Suriah timur laut dan berhasil menjatuhkan kekuasaan kelompok ISIS dengan mengorbankan ribuan nyawa militan Kurdi. Sekarang sebagian besar wilayah itu akan diserahkan kepada saingan AS.

Pemenang terbesar dalam peristiwa itu adalah Turki dan Rusia. Turki akan mendapatkan kendali tunggal atas daerah-daerah perbatasan Suriah dalam invasi, sementara pasukan pemerintah Turki, Rusia, dan Suriah akan mengawasi seluruh wilayah perbatasan. Mantan sekutu Amerika Serikat, militan Kurdi, dibiarkan berharap Moskow dan Damaskus akan memberikan beberapa bagian untuk wilayah otonomi.

Di bawah kesepakatan itu, terdapat 10 poin yang dibuat, salah satunya adalah milisi Kurdi memiliki waktu 150 jam sejak Rabu siang untuk mundur dari seluruh perbatasan timur laut dari Sungai Efrat ke perbatasan Irak. Pasukan pemerintah Rusia dan Suriah akan segera bergerak masuk untuk memastikan para milisi Kurdi menarik mundur 30 kilometer dari perbatasan. Ketika batas waktu berakhir pada 29 Oktober, patroli gabungan Rusia-Turki akan dimulai sepanjang 10 kilometer garis perbatasan.

Wilayah pengecualian ada di sekitar kota Qamishli di ujung timur jauh perbatasan, yang memiliki beberapa populasi Kurdi terpadat. Para pejabat Rusia dan Turki tidak segera mengatakan pengaturan apa yang akan ada di sana.

Turki pun akan tetap mengendalikan satu-satunya wilayah di pusat perbatasan yang direbutnya dalam invasi. Wilayah itu membentang dengan lebar sekitar 120 kilometer dan panjang 30 kilometer di antara kota-kota perbatasan Suriah Tal Abyad dan Ras al-Ayn.

Seorang pejabat senior Kurdi Redur Khalil membenarkan pasukannya telah sepenuhnya ditarik keluar dari zona itu seperti yang disyaratkan dalam gencatan senjata yang dimediasi AS. Jeda lima hari dalam pertempuran berakhir pada Selasa malam, tak lama setelah pengumuman Khalil. Tidak ada laporan segera tentang pertempuran yang dilanjutkan.

Khalil mengatakan pasukan Turki dan sekutu melanjutkan operasi militer di timur laut Suriah di luar zona penarikan itu. Direktur komunikasi Turki Fahrettin Altun mengatakan, tepat sebelum gencatan senjata berakhir para militan belum sepenuhnya pergi. "Para teroris punya 15 menit lagi," kicau Altun melalui akun Twitter.

Turki menganggap militan Kurdi Suriah sebagai teroris karena hubungan mereka dengan pemberontak Kurdi di Turki. Erdogan marah dengan keputusan Washington untuk bersekutu dengan Kurdi melawan kelompok ISIS. Erdogan ingin membuat zona aman di sepanjang perbatasan yang dibersihkan militan Kurdi untuk bisa merumahkan kembali 3,6 juta pengungsi Suriah yang saat ini berada di Turki.

Wilayah perbatasan adalah jantung dari minoritas Kurdi Suriah. Kurdi khawatir pengambilalihan Turki tidak hanya akan menghancurkan pemerintahan mereka sendiri, tetapi, juga menyebabkan perubahan demografis besar-besaran, ketika warga sipil Kurdi melarikan diri dan sebagian besar pengungsi Arab Suriah masuk.

Perjanjian baru membatasi patroli Turki bersama Rusia ke daerah-daerah terdekat dengan perbatasan, sementara wilayah sisanya akan dipegang pemerintah Suriah. Itu mungkin mencegah pelarian besar-besaran warga sipil, hanya saja, akan menjadi pukulan berat bagi impian otonomi Kurdi. Namun, Kurdi terus memegang wilayah besar lebih jauh ke selatan, termasuk ladang minyak strategis.

Sementara itu, AS yang keluar dari Suriah dalam penarikan besar-besaran secara mendadak mendapat kesulitan. Militer Irak mengatakan, pasukan AS yang keluar dari Suriah tidak memiliki izin untuk tinggal di Irak.

Pernyataan itu bertentangan dengan perkataan Menteri Pertahanan AS Mark Esper sehari sebelumnya. Dia menyatakan, pasukan AS akan tetap di sana untuk melawan kelompok ISIS. Esper juga berbicara tentang menjaga beberapa pasukan di Suriah timur untuk melindungi ladang minyak yang dipegang oleh Kurdi.

Trump memerintahkan penarikan pasukan AS pada 7 Oktober dengan sedikit konsultasi dengan para penasihat dan menghadapi kritik keras, bahkan oleh sekutu Partai Republik. Hal itu membuka jalan bagi Turki untuk meluncurkan invasi ke timur laut Suriah untuk mengusir kelompok Kurdi. Trump melihat tidak ada masalah dengan Rusia dan Turki mengambil alih wilayah yang ditinggalkan pasukan AS.

sumber : AP
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement