REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) akan mendorong kasus meninggalnya dua mahasiswa Kendari, La Randi (21 tahun) dan Muhammad Yusuf Kardawi (19), diproses secara hukum pidana. Keduanya dipastikan meninggal akibat peluru tajam yang diduga berasal dari aparat keamanan saat mengamankan aksi unjuk rasa penolakan revisi sejumlah Undang- undang pada 26 September.
Wakil Ketua LPSK Manager Nasution meminta semua pihak yang memiliki informasi terkait kejadian itu tidak takut memberikan keterangan. Dia mengklaim telah kembali ke Kota Kendari, Sulawesi Selatan, pada Selasa (22/10). Sejumlah pihak telah ditetapkan sebagai terlindung dalam proses pengungkapan kematian Randi dan Yusuf.
"Kita mendorong kasus (kematian mahasiswa) ini bisa diproses hukum. Sekali lagi, kami mengimbau pihak-pihak yang memiliki informasi untuk tidak takut memberikan keterangan," kata Manager melalui keterangan persnya, kemarin.
Maneger mengatakan, pihak yang memiliki informasi harus berani bersuara. Hal itu dapat membantu penyidik agar kasus itu bisa diungkap dan diproses secara transparan.
Di Kendari, Manager akan bertemu kepala Polda Kendari untuk meminta informasi terkait penanganan kasus sejauh ini. Ia juga berencana menemui penasihat hukum keluarga korban.
Demonstrasi pada Kamis, 26 September 2019, dilakukan mahasiswa lintas kampus di Kendari. Mereka menuntut pemerintah dan DPR membatalkan revisi sejumlah undang-undang, di antaranya RKUHP dan UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Aksi mahasiswa tersebut di bubarkan paksa oleh pihak kepolisian. Dua mahasiswa asal UHO Kendari, Randi dan Yusuf Kardawi, meninggal dunia diduga akibat tembakan polisi.
Kasus itu kemudian ditangani oleh Propam Polri. Sebanyak enam orang anggota polisi, yaitu DM, MI, MA, H, E, dan DK, telah dinyatakan melanggar prosedur (SOP) pengamanan unjuk rasa. Mereka dipastikan membawa senjata api yang dilengkapi peluru tajam.
Namun, status mereka masih sebatas terperiksa dan tersidang disiplin di kepolisian. Pada 17 dan 18 Oktober 2019, enam anggota Polres Kendari itu menjalani sidang disiplin oleh atasannya masing-masing.
Dalam laporan investigasi Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), penembakan kedua mahasiswa itu diduga kuat dilakukan oleh polisi. Kontras bahkan mengungkap kronologi korban terkena tembakan hingga tersungkur.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga mendesak oknum aparat kepolisian tersebut diproses di ranah pidana. Sebab, kasus yang terjadi bukan lagi masuk kategori pelanggaran etik semata.
Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur mengatakan, penyebab dua mahasiswa itu meninggal sudah dipastikan karena peluru tajam. Namun, kepolisian hanya melaku kan sidang etik. "Padahal, bunuh orang itu pidana. Seharusnya tidak hanya etik, tapi juga ke ranah pidana," kata Isnur, kemarin.
Selain kasus mahasiswa Kendari, polisi juga diminta mengusut meninggalnya tiga demonstran di Jakarta. Sebab, pada beberapa korban meninggal ditemukan bekas luka tindak kekerasan. Salah satu korban di Jakarta, Akbar Alamsyah, mengalami lebam dan tulang kepala patah. "Kalau ada penyiksaan, maka itu bukan pelanggaran etik, tapi pidana,"kata Isnur.
Kepala Bidang Humas Polda Sula wesi Tenggara (Sultra), AKBP Harry Goldenhardt memastikan, kasus penembakan demonstran diproses secara hukum. Oknum polisi, kata dia, tidak hanya menghadapi sidang disiplin internal, tapi juga pidana umum.
Menurut Harry, ada dua proses pemeriksaan yang tengah berjalan dalam kasus ini. "Ada dua proses yang berjalan, pertama proses internal yang dilakukan tim Propam Mabes Polri. Kedua ada proses penyelidik an dan penyidikan atas meninggalnya almarhum oleh Bareskrim dan Ditreskrim Polda Sultra," kata dia, kemarin. Artinya, enam orang yang tengah disidang disipilin tetap akan menjalani proses secara pidana.
Lima orang polisi menjalani sidang disiplin di bidang Propam Polda Sulawesi Tenggara, Kendari, Sulawesi Tenggara, Kamis (17/10/2019).
Evaluasi aparat
YLBHI juga meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera mengevaluasi institusi Polri. Sebab, temuan tindak kekerasan oleh polisi tidak hanya terjadi dalam menangani demo September, tetapi juga saat kericuhan Mei 2019.
Isnur mengatakan, Polri dan jajar an nya tidak lagi mematuhi sejumlah undang-undang dalam mengamankan aksi massa. Padahal, UU Kepolisian menyatakan, polisi wajib menghormati hak asasi ma nusia.
"Po lisi juga wajib menghormati hak war ga negara untuk menyatakan pendapat. Tapi, itu semua kanditerabas (polisi)," kata Isnur, kemarin.
Sementara, penanganan kericuhan di sekitar gedung Bawaslu pada 21-23 Mei lalu juga menimbulkan sembilan korban meninggal dan ratusan luka-luka. Delapan di antara korban meninggal dipastikan karena tertembak peluru tajam. Dalam investigasi kasus tersebut, Ombudsman sudah menyatakan polisi terbukti tidak mematuhi prosedur dalam menjalankan tugasnya. (febryan a/ali mansur, ed: ilham tirta)